Seorang yang akan bepergian jauh tentu akan mempersiapkan bekal dengan sebaik-baiknya dan perbekalan yang cukup. Ambil contoh seseorang yang hendak melakukan perjalanan haji, tentulah ia akan mempersiapkan bekal yang cukup dan mengumpulkan bekal yang cukup lama, yang mana ibadah haji hanya berlangsung sebentar saja, hanya beberapa hari. Sama juga seorang yang hendak menikah akan mempersiapkan bekal pernikahan dan biaya pernikahan yang itu terkadang didapat setelah ia bekerja keras dan lama mengumpulkannya. Lalu yang menjadi buah pertanyaan bagi kita sudahkah kita mempersiapkan perbekalan untuk suatu perjalanan yang tiada akhirnya? Yakni perjalanan akhirat. Dunia ini tidak lain hanyalah tempat singgah sementara, yang mana manusia akan melanjutkan perjalanannya ke negeri akherat yang tiada akhirnya.
Maka sudah semestinya kita mempersiapkan perbekalan untuk kehidaupan panjang yang tiada akhirnya. Allah berfirman,
“Wahai orang-orang yang beriman bertakwalah kalian kepada Allah, dan hendaknya setiap diri memperhatikan tentang apa yang akan diperbuat olehnya untuk esok hari (akherat). Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah maha mengetahui apa yang engkau kerjakan.” (Al-Hasyr: 18)
Ibnu Katsir rahimahullah berkata, “Hisablah diri kalian sebelum dihisab, perhatikanlah tentang apa yang sudah kalian simpan dari amal shalih untuk hari kebangkitan. Serta (hal-hal) yang dinampakkan kepada Rab kaliaan.”[1]
Namun amat sangat disayangkan masih ada sebagian kaum muslimin yang berprinsip, baru akan memperbanyak ibadah dan mendekatkan diri kepada Allah setelah berusia senja, setelah pensiun, atau purna tugas, padahal dia tidak tahu umur berapa ia akan meninggal.
Bersegeralah Dalam Beramal
“Mumpung masih muda mas puas-puasin aja dan nikmati masa muda, kan gampang setelah tua nanti baru sadar.” Inilah ucapan yang acap kali kita dengar dari orang-orang yang bergelimang dengan maksiat dan jauh dari ketaatan. Padahal tahukah dia kalau umurnya bakalan panjang? Apakah punya rekomendasi dari Allah dengan tanda tangan malakat yang menyatakan umurnya bakal panjang? Kalau seandainya ia ditakdirkan panjang apakah ada jaminan bahwa dia akan sadar? Ayau jesteru malah makin tua makin menjadi maksiatnya?! Allah ta’ala berfirman,
“Dan tiada seseorang pun yang dapat mengetahui (dengan pasti) apa yang akan diusahakan untuk hari esok. Dan tiada seorang pun yang mengetahui dibumi mana dia akan mati. Sesunguhnya Allah maha mengetahui lagi maha mengenal.” (Luqman: 34)
Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Sesungguhnya banyak berangan-angan adalah modalnya orang-orang yang bangkrut.”[2]
Abdullah bin Umar berkata,
“Apabila engkau berada diwaktu sore janganlah menunggu (menunda beramal) diwaktu pagi. Dan jika berada diwaktu pagi, janganlah (menunda beramal) diwaktu sore. Gunakanlah masa sehatmu untuk masa sakitmu, dan hidupmu untuk matimu.”[3]
Maka janganlah lewatkan kesempatan hidup ini sebelum datangnya kematian. Allah berfirman,
“(Demikianlah keadaan orang-orang kafir itu), hingga apabila datang kematian kepada salah seorang dari mereka, dia berkata: ‘wahai Rabku, kembalikanlah aku (ke dunia), agar aku dapat beramal shalih terhadap apa yang telah aku tinggalkan.’sekali-kali tidak. Sesungguhnya itu hanyalah perkataan yang diucapkan saja.” (Al-Mu’minun: 99-100)
Umur Akan Dimintai Pertanggung Jawaban
Waktu adalah sesuatu yang sangat berharga, jika berlalu maka ia tidak akan kembali lagi. Setiap kali waktu bergulir, maka semakin dekatlah ajal kita. Dan umur adalah nikmat yang akan dimintai pertanggungjawaban disisi Allah. Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam bersabda,
“Tidak akan bergeser kaki manusia pada hari kiamat dari sisi Rabnya sehinga ditanya tentang lima hal: tentang umurnya untuk apa ia pergunakan, masa mudanya untuk apa ia habiskan, tentang hartanya dari mana ia peroleh dan kemana ia infakkan, dan tentang ilmunya apa yang ia amalkan (darinya).”[4]
Manfaatkanlah nikmat umur ini untuk beramal
Amat banyak orang-orang yang melewati harinya dengan hura-hura, foya-foya dan perbuatan sia-sia. Bahkan banyak diantara mereka yang manjadikan umurnya untuk ajang berbuat dosa danm kemurkaan Allah. Dia tidak mau memanfaatkan umurnya sebagai bekal di akherat atau tidak mau memanfaatkan umurnya utuk mengisi sesuatu yang berfaat bdalam dunianya. Seolah olah keadaannya mengatakan hidup itu Cuma sekali didunia saja maka manfaatkanlah untuk foya-foya. Tidak ada yang terbayang didalam benaknya kecuali menuruti hawa nafsunya. Maka kondisi orang yang seperti ini seperti binatang ternak bahkan lebih jelek. Nabi shallallahu’alaihi wasallam bersabda,
“(Ada) dua nikmat yang kebanyakan orang tertipu olehnya, yaitu nikmat sehat, dan waktu senggang.”[5]
Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam juga bersabda,
“Manfaatkanlah lima perkara sebelum datang lima perkara: masa hidupmu sebelum matimu, masa sehatmu sebelum sakitmu, masa senggangmu sebelum masa sibukmu, masa mudamu sebelum tuamu, dan masa kayamu sebelum,masa fakirmu.”[6]
Berkata Al-Munawi, “Lakukanlah lima perkara sebelum datang lima perkara. “Hidupmu sebelum matimu” yakni pergunakanlah (hidupmu pada) hal-hal yang akan memberikan manfaat setelah matimu, karena orang yang telah mati telah terputus amalannya, pupus harapannya, datang penyesalannya serta beruntun kesedihannya. Maka gadaikanlah dirimu untuk kebaikanmu. “Dan masa sehatmu sebelum sakitmu” yakni manfaatkanlah (kesempatan) senggangmu didunia ini sebelum disibukkan dengan kedahsyatan hari kiamat yang awal persinggahannya adalah alam kubur. Manfaatkanlah kesempatan yang diberikan, semoga kamu selamat gdari siksa dan kehinaan. “Dan masa mudamu sebelum masa tuamu”, yakni lakukan ketaatan saat kamu mampu sebelum datang usia tu manghinggapimu., sehingga engkau akan menyesali perbuatan yang telah engkau sia-siakan dari kewajiban terhadap Allah ta’ala. “Dan masa kayamun sebelum masa faqirmu” yakni ,memanfaatkan dengan bersedekah atas kelebihan hartamu sebelum engkau jatuh kepa musibah yang menjadikanmu faqir, (jika demikian) maka engkau akan menjadi faqir di dunia dan di akherat. Kelima hal ini tidak diketahui kadar besarnya kecuali setelah hilang.”[7]
Telah Datang peringatan
Terkadang telah datang peringatan dari tubuhnya sendiri. Hal ini menjadi peringatan akan dekatnya ajal menjemputnya. Sungguh uban yang telah menyelimuti kepala, kulit yang sudah mulai keriput, badan yang sudah mulai lemah merupakan tanda akan dekat ajal menjemputnya. Allah berfirman,
“Dan apakah kami telah memanjangkan umurmu dalam masa yang cukup untuk berfikir nbagi ourang-orang yang mau berpikir, dan (apakah) tidak datng kepadamu pemberi peringatan?” (Fathir: 37)
Sebagian ahli tafsir menjelaskan arti, “Telah datang kepadamu peringatkan” yakni: uban.
Demikian juga apabila Allah telah memberikan umur hingga seorang mencapai umur 60 tahun, berarti Allah tidak meninggalkan sebab lagi agar seseorang memilki alasan. Kesempatan telah Allah berikan dan umur telah dipanjangkan. Nabi shallallahu’alaihi wasallam bersabda,
“Allah telah memberikan puncak udzur/alasan bagi seseorang yang diakhirkan ajalnya hingga mencapai usia enam puluh tahun.”[8]
Maksud hadits ini adalah bahwa tidak ada lagi alasan baginya, seperti mengatakan, “Kalau umurku dipanjangkan, maka aku akan melakukan apa yang aku diperintahkan untuknya.” Dijadikannya umur empat puluh tahun sebagai batas udzur seseorang karena umur tersebut adalah umur yang mendekati ajal dan umur yang seharusnya seseorang kembali kepada Allah, khusyu’, dan mewaspadai datangnya kematian. Seorang yang lebih berumur enam puluh tahun hendaknya ia lebih menekuni amalan akherat secara total, karena sudah tidak mungkin lagi akan kembali dalam kondisinya yang pertama ketika dalam kondisi kuat dan semangat.”[9]
Umur Umat Ini
Allah telah mentakdirkan bahwa umur umat ini tidak sepanjang umur-umur umat terdahulu. Hal ini mengandung sebuah hikmah yang terkadang tidak diketahui oleh para hamba. Nabi shallallahu’alaihi wasallam telah bersabda didalam hadits yang telah diriwayatkan oleh At-Tirmidzi dari shahabat Abu Hurairah radhiyallahu’anhu,
“Umur-umur umatku antara 60 sampai 70, dan sedikit dari mereka yang melebihi dari itu.”[10]
Maksud hadits ini adalah bahwa keumuman umur umat ini antara 60 hingga 70 tahun, dengan realita yang bisa disaksikan. Dimana ada juga diantara umat ini yang (mati) sebelum umur 60 tahun. Ini termasuk dari rahmat Allah dan kasih sayangnya supaya umat ini tidak terlibat dalam kehidupan dunia kecuali hanya sebentar. Karena umur, badan, dan rizki umat-umat terdahulu lebih besar sekian kali lipat dibandingkan umat ini. Dahulu ada yang diberi umur seribu tahun, panjang tubuhnya mencapai sekitar 80 hasta atau kurang. Satu biji gandum besarnya seperti pinggang sapi. Satu delima diangkat oleh sepuluh orang. Mereka mengambil dari dunia sesuai dengan jasad dan umur mereka, sehingga mereka sombong dan berpaling dari Allah. Dan manusia pun terus mengalami bentuk penurunan fisik, rizki, dan ajal. Maka jadilah umat ini sebagai umat yang terakhir, yang mengambil rizki yang sedikit, dengan badan yang lemah, dan pada masa yang pendek supaya mereka tidak menyombongkan diri. Ini adalah bentuk kasih sayang Allah ta’ala kepada mereka.”[11]
Orang Yang Paling Baik
Manusia yang terbaik adalah manusia yang mengisi waktunya dengan amalan untuk kebaikan dunia dan akheratnya. Nabi shallallahu’alaihi wasallam bersabda,
“Sebaik-baik manusia adalah yang panjang umurnya dan baik amalannya. Dan sejelek-jelek manusia adalah yang panjang umurnya dan jelek amalannya.”[12]
Seorang yang banyak kebaikannya, setiap kali dipanjangkan umurnya, maka akan banyak amalannya dan bertambajh pahala kebaikannya,
Dahulu ada dua orang yang datang kepada Nabi shallallahu’alaihi wasallam dan sama-sama masuk Islam. Salah satunya lebih bersemangat untuk beramal dari pada yang lainnya. Orang yang bersemanagat tersebut ikut pertempuran dan terbunuh. Temennya yang satu masih hidup satu tahun setelahnya, lalu meninggal diatas ranjangnya. Maka ada shahabat bernama Thalhah bin Ubaidillah radhiyallahu’anhu bermimpi tentang dua orang tersebut. Dalam mimpinya keduanya berada dipintu sorga. Maka orang yang matinya diatas ranjangnya dipersilahkan masuk sorga terlebih dahulu. Setelah itu temannya yang terbunuh dipersilahkan masuk. Pada pagi jharinya Thalhah bercerita kepada orang-orang dan mereka merasa takjub dengan hal tersebut, berita mimpi Thalhah dan takjubnya manisia pun sampai kepada Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam bersabda, “Bukankah (orang yang mati diranjangnya) ini masih hidup setahun setelah (kematian temennya yang terbunuh dijalan Allah) itu? Para shahabat menjawab, “Benar”. Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam bertanya lagi, “Dan ia mendapati bulan Ramadhan lalu ia puasa dan shalat sekian dan sekian dalam setahun?” para shahabat menjawab, “Benar”. Rasulullah bersabda, “Jarak (derajat) antara keduanya lebih jauh dari pada jarak antara langit dan bumi.”[13]
Karena amat berharga dan mahalnya umur seorang mu’min, maka dahulu ada seorang salaf mengatakan, “Sungguh satu jam kamu hidup padanya dengan kamu beristighfar kepada Allah lebih baik dari pada kamu mati selama setahun.
Dan dahulu ada seorang salaf yang sudah tua ditanya, “Apakah kamu ingin mati?” jawabnya, “Tidak. Karena masa masa muda dan kejahatannya telah berlalu, dan kini datang masa tua bersama kebaikannya. Jika aku berdiri aku mengucapkan bismillah, jika aku duduk aku mengucapkan alhamdulillah. Aku ingin untuk terus dalam kedaan seperti ini.”
Dan ada juga seorang salaf lainnya yang sudah tua ditanya, “Apa yang masih masih tersisa dari keinginanmu didunia ini?” Dia menkjawab, “Menangisi dosa-dosa yang telah aku perbuat.”
Oleh karena itu banyak dari salaf kita yang menangis ketika mau meninggal. Bukan karena sedih berpisah dengan kenikmatan dunia, mnamun bersedih lkarena terputus dengan amalan-amalan shalat malam yang dia lakukan, puasa, tilawatul Qu’an dan yang lainnya. Hal ini seperti yang dialami oleh Yazid bin Aban Ar-Raqqasyi rahimahullah.[14]
Larangan Meminta Kematian
Tidak seyogyanya seorang meminta kematian tanpa ada sebab yang dibenarakan. Diantara sebab yang diperbolehkan adalah ketika ia merasa yakin apabila ia masih hidup maka ada indikasi yang kuat bahwa cobaan yang menderanya akan menyesatkannya dari agama Allah. namun apabila alasannya tidak diperbiolehkan semisal seorang yang ditimpa penyakit dan sudah berobat namun penyakitnya tidak kunjung sembuh, atau dililit hutang dan semisalnya, maka meminta mati dalam hal ini adalah sesuatu yang tidak diperbolehkan. nabi shallallahu’alaihi wasallam bersabda,
“Janganlah salah seorang diantara kalian mengangan-angankan kematian karena penderitaan yang menimpanya. Jika mau tidak mau harus berbuat, maka ucapkanlah, ‘Wahai Allah hidupkanlah aku jika memang hidup itu lebih baik bagiku. Dan wafatkanlah aku jika memang wafat itu lebih baik bagiku.”[15]
Seorang mu’min selalu meminta yang terbaik kepada Allah. Karena seseorang tidak tahu apakah setelah kematian kondisinya lebih baik atau justeru sebaliknya. Dengan kematian, seorang telah terputus dari amalannya dan tidak bermanfaat lagi taubat dan penyesalan.
Habib bin ‘Isa Al-Farisi rahimahullah merasa gusar ketika kematian menjemputnya. Ia mengatakan, “Sunguh akan akan pergi dengan menempuh perjalanan jauh yang belum pernah aku tempuh. Aku akan menelusuri suatu jalan yang belum pernah aku telusuri. Akau akan berjalan menunggu kekasihku (Allah ta’ala) yang belum pernah sama sekali aku melihat-Nya. Dan aku akan melihat kedahsyatan yang belum pernah aku melihat sebelumnya”[16]
Memohon Agar Dipanjangkan Umur
Panjangnya umur bukanlah jaminan selamatnya seseorang dari adzab. Lihatlah bagaimana orang-orang Yahudi amat sangat beranbisi agar mereka diberi umur yang panjang. Sebagaimana Allah berfirman,
“Masing-masing mereka berangan-angan agar diberi umur seribu tahun, padahal umur panjang tersebut tidaklah sekali-kali menjauhkan dari siksa.” (Al-Baqarah: 96)
Adapun seorang mu’min tidaklah bertambah umur kecuali akan bertambah baginya kebaikan. Oleh kerena itu diperbolehkan bagi seseorang untuk meminta kepada Allah agar dipanjangkan umur. Sebagai mana Nabi shallallahu’alaihi wasallam pernah mendoakan Anas bin Malik radhiyallahu’anhu,
“Wahai Allah perbanyaklah hartanya, anaknya, dan panjangkanlah umurnya.” [17]
Berkata Syaikh Al-Albani, “Pada hadits diatas, terdapat faedah tentang bolehnya mendoakan panjangnya umur bagi seseorang.”[18]
Namun seyogyanya doa meminta panjang umur tersebut dibarengi dengan permohonan kebaikan dan barakah. Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin berkata, “Tidak sepantasnya seseorang mengucapkan (selamat) panjang umur, karena panjangnya umur terkadang baik dan terkadang jelek. Orang yang jelek adalah seorang yang panjang umurnya lagi jelek amalannya. Berdasarkan hal tadi maka tidak mengapa seseorang mendoakan, ‘Semoga Allah panjangkan umurmu diatas ketaatan kepada Allah atau yang semisalnya’.”[19]
Tauladan Para Salaf Didalam Menjaga Waktu Diatas Ketaatan
Apabila kita membuka lembaran generasi para salaf dan kesungguhan mereka di dalam memanfaatkan waktu untuk ketaatan, maka sungguh kita akan merasa takjub dan seolah-olah itu hanyalah dongeng semata yang tidak ada di alam nyata. Mereka adalah generasi yang lebih mementingkan kehidupan akherat dari pada dunia. Mereka adalah orang-orang yang siap berkorban dengan jiwa, harta, dan raganya dalam rangka membela agama Islam. Mereka akan sipa berkorban untuk semua itu walaupun dengan resiko dimurkai oleh manusia.
Oleh karena itu sangat penting bagi kita untuk mencermati lembaran-lembaran mereka didalam hal memanfaatkan waktu untuk ketaatan, agar semangat menjadi tumbuh dan kemalasan akan terenyahkan. Dalam Al-Qur’an Allah telah mensifati hamba-hamba-Nya yang diridhoi-Nya dengan firman-Nya,
“Mereka sedikit sekali tidur diwaktu malam. Dan diakhir-akhir malam mereka beristighfar (memohon ampun kepada Allah).” (Adz-Dzariyat: 17-18)
Mereka melewati malam-malam yang panjang bukanah untuk begadang dalam hal-hal yang tidak bermanfaat atau tidur terlelap sepanjang malam, akan tetapi mereka melewatinya untuk beristighfar dari kesalahan-kesalahan dan kekurangan mereka. Demikian pula Ibrahim dan Ismail ‘alaihimassalam tatkala selesai membangun Ka’bah, rumah Allah yang termulia, ditempat yang paling mulia yaitu Makkah. Keduanya berdoa:
“Wahai Allah terimalah dari kami.” (Al-Baqarah: 127)
Berbeda dengan seorang yang jelek, mereka menggabungkan antara jeleknya perbuatan dan sikap merasa aman dari adzab Allah.
Inilah shahabat Abdullah bin umar radhiyallahu’anhuma, ketika Abu Hurairah radhiyallahu’anhu memberitahukannya tentang hadits Nabi shallallahu’alaihi wasallam bahwa orang yang menshalati janazah akan mendapatkan pahala satu qirath, dan barang siapa yang mengantarkannya sampai kubur dia mendapatkan pahala dua qirath. Abdullah bin Umar belum pernah mendengar hadits itu, lalu ia mengutus seseorang untuk bertanya kepada ‘Aisyah, dan ia menjawab, “Benar apa yang dikatakan Abu Hurairah.” Ketika utusan tadi telah pulang dan mengabarkannya, Abdullah mengatakan dengan ucapan penyesalan, “Sungguh kita telah menyia-nyiakan qirath yang banyak.”[20]
Demikianlah Abdullah bin Umar radhiyallahu’anhuma sangat menyesal karena telah terlewatkan untuk mendapat pahala yang besar. Namun pernahkah kita menyesalai atas terluputnya amalan ketaatan yang terluput pada diri kita? Atau justeru yang kita sesali adalah terluputnya kemewahan dunia.
Dahulu apabila seorang Ahli hadits mendiktekan hadits kepada murid-muridnya dan ia berhenti sejenak untuk memberi kesempatan muridnya dalam rangka menulis hadits, ia memanfaatkan waktu yang sejenak itu untuk beristighfar dan bertasbih.
Dahulu ada yang menyebutkan tentang Al-Imam Abdullah bin Al-Imam Ahmad rahimahullah, “Tidaklah aku melihatnya kecuali ia sedang membaca, tersenyum atau sedang meneliti (suatu permasalahan agama).
Al-Imam Adz-Dzahabi menyebutkan tentang biografi Abdul Wahhab bin Al-Wahhab bin Al-Amin rahimahullah bahwa waktunya sangat terjaga. Tidaklah berlalu suatu saat kecuali dia sedang membaca, berdzikir, tahajjud, atau setor hafalan.[21]
Berlindung Kepada Allah Dari Penyakit Pikun
Semakin berlanjut usia seseorang semakin berkurang kekuatannya dan melemah fisiknya sehingga kembali kepada kondisi yang serupa dengan anak kecil yang lemah tubuhnya, sedikit akalnya, dan kurang pengetahuannya. Oleh karena itu diantara doa Nabi shallallahu’alaihi wasallam,
“Wahai Allah aku berlindung kepada-Mu dari kelemahan, kemalasan, pengecut, dan kepikunan.”[22]
Bersiap-siaplah Untuk Menghadapi Akherat
Ketahuilah bahwa setan senantiasa membisikan untuk mengakhirkan taubat hingga akhir umurnya. Sehingga apabila telah mati barulah ia merasa menyesal akibat apa yang telah ia sia-siakan dari umurnya untuk menuruti syahwat dunianya yang semu. Ia berangan-angan agar dikembalikan kedunia agar beramal shaleh namun itu sudah tidak bermanfaat lagi. Allah sudah memperingatkan para hamba untuk bersiap-siap menghadapi akherat. Dan memerintahkan mereka untuk segera bertaubat dari kesalahan-kesalahn dan dosa. Allah berfirman,
“Dan kembalilah kamu kepada Rabmu, dan berserah dirilah kepada-Nya sebelum datang adzab kepadamu kemudian kamu tidak dapat ditolong (lagi). Dan ikutilah sebaik-baik apa yang diturunkan kepadamu dari Rabmu sebelum datang kepadamu azab dari Rabmu dengan tiba-tiba, sedang kamu tidak menyadarinya, supaya jangan ada orang yang menyatakan, ‘Amat besar penyesalanku atas kelalaianku dalam (menunaikan kewajiban) terhadap Allah’.” (Az-Zumar: 54-56)
Berkata Ali bin Abi Thalib, “Dunia pergi membelakangi, sedangkan akherat telah datang menyambut dan masing-masing dari keduanya memilki anak-anak (pecinta) nya. Maka jadilah kalian termasuk ahli akherat dan janganlah menjadi ahli dunia. Karena hari ini (kehidupan didunia) adalah tempat beramal bukan hisab, dan besok (kiamat) hanya ada hisab bukan amal.”[23]
Nabi shallallahu’alaihi wasallam bersabda,
“Orang sudah tua akan senantiasa muda pada dua perkara: dalam cinta dunia dan panjangnya angan-angan (umur).”[24]
Oleh karena itu wahai kaum muslimin usia adalah hakekat hidup kita. Makin bertambah usia, makin berkurang umur kita. Mengherankan tingkah sebagian orang yang merayakan ulang tahunnya setiap tahun. Seringkali diiringi dengan hinggar binggar dan hura-hura. Lupa saat ajal tiba, tidak ada lagi “kesempatan kedua” untuk bertaubat dan mengayam kebaikan. Adapun orientasi hidup seorang mukmin adalah beribadah kapada Allah dengan semaksimal mungkin dan munggunakan waktunya untuk meningkatkan amal shalih, yang merupaka jalan menuju sorga.
Wallahu a’lam Bish Shawwab.
Sumber: http://islamkita.net/?p=89
[1] Taisir Al-‘Aliyyir Qadir: 4/339.
[2] Ma’alim fi Thariq Thalabil ‘Ilmi: hal.32.
[3] HR. Al-Bukhari: 6416.
[4] HR. At-Tirmidzi dari Ibnu Mas’ud radhiyallahu’anhu. Lihat As-Shahihah, no.946.
[5] HR. Bukhari dan At-Tirmidzi. Lihat Shahih At-tirmidzi no.2304.
[6] HR. Al-Hakim dan selainnya.dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani dalam As-Shahihul Jami’ no.1077.
[7] Faidhul Qadhir: 2/21.
[8] HR. Al-Bukhari: no.6419.
[9] Fathul Bari: 11/240.
[10] Hadits ini dihasankan oleh Al-Hafidz Ibnu Hajar didalam Fathul Bari: 11/240.
[11] Disadur secara makna dari perkataan Imam At-thibi didalan kitab Al-Faidhul Qadir: 2/15.
[12] HR. Ahmad, At-Tirmidzi dan Al-Hakim dari Abu Bakrah radhiyallahu’anhu, lihat Shahihul Jami’ no: 3297.
[13] Shahih Sunan Ibnu Majah: no.3185.
[14] Lihat Syarah hadits Allahumma Bi’ilmika al-Ghaib. Karya Ibnu Rajab rahimahullah, hal.25-26.
[15] HR. Al-Bukhari no.5671.
[16] Syarah hadits Allahumma Bi’ilmika al-Ghaib. Karya Ibnu Rajab rahimahullah, hal.32 dan Hilyatul Auliya’: 149-155.
[17] Shahih Al-Adab Al-Mufrad: no.508.
[18] Syarah Shahih Al-Adab Al-mufrad: 2/311
[19] Al-Manahi Al-Lafdziyyah, hal. 89.
[20] Sunan Ath-Tirmidzi: 1040. Cet. Al-Ma’arif.
[21] Ma’alim Fi Thariq Thalabil ‘Ilmi, karya Abdul Azizi As-sadhan. Hal. 33-37. Umur anegerah yang terabaikan tulisan Al-Ustadz Abdul Mu’thi Lc, majalah Asy-Syariah vol.III rubrik Akhlaq.
[22] HR. Al-Bukhari: no.6367.
[23] Shahih Al-Bukhari, Kitab Ar-Riqaq Bab Fil Amal Wa Thulihi.
[24] HR. Al-Bukhari: no. 6420.
Maka sudah semestinya kita mempersiapkan perbekalan untuk kehidaupan panjang yang tiada akhirnya. Allah berfirman,
يا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَلْتَنْظُرْ نَفْسٌ مَا قَدَّمَتْ لِغَدٍ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِما تَعْمَلُونَ
Ibnu Katsir rahimahullah berkata, “Hisablah diri kalian sebelum dihisab, perhatikanlah tentang apa yang sudah kalian simpan dari amal shalih untuk hari kebangkitan. Serta (hal-hal) yang dinampakkan kepada Rab kaliaan.”[1]
Namun amat sangat disayangkan masih ada sebagian kaum muslimin yang berprinsip, baru akan memperbanyak ibadah dan mendekatkan diri kepada Allah setelah berusia senja, setelah pensiun, atau purna tugas, padahal dia tidak tahu umur berapa ia akan meninggal.
Bersegeralah Dalam Beramal
“Mumpung masih muda mas puas-puasin aja dan nikmati masa muda, kan gampang setelah tua nanti baru sadar.” Inilah ucapan yang acap kali kita dengar dari orang-orang yang bergelimang dengan maksiat dan jauh dari ketaatan. Padahal tahukah dia kalau umurnya bakalan panjang? Apakah punya rekomendasi dari Allah dengan tanda tangan malakat yang menyatakan umurnya bakal panjang? Kalau seandainya ia ditakdirkan panjang apakah ada jaminan bahwa dia akan sadar? Ayau jesteru malah makin tua makin menjadi maksiatnya?! Allah ta’ala berfirman,
وَما تَدْرِي نَفْسٌ مَاذَا تَكْسِبُ غَداً وَما تَدْرِي نَفْسٌ بِأَيِّ أَرْضٍ تَمُوتُ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ
Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Sesungguhnya banyak berangan-angan adalah modalnya orang-orang yang bangkrut.”[2]
Abdullah bin Umar berkata,
إِذَا أَمْسَيْتَ فَلاَ تَنْتَظِرِ الصَّبَاحَ، وَإِذَا أَصْبَحْتَ فَلاَ تَنْتَظِرِ المَسَاءَ، وَخُذْ مِنْ صِحَّتِكَ لِمَرَضِكَ، وَمِنْ حَيَاتِكَ لِمَوْتِكَ
Maka janganlah lewatkan kesempatan hidup ini sebelum datangnya kematian. Allah berfirman,
حَتَّى إِذا جاءَ أَحَدَهُمُ الْمَوْتُ قالَ رَبِّ ارْجِعُونِ لَعَلِّي أَعْمَلُ صالِحاً فِيما تَرَكْتُ كَلاَّ إِنَّها كَلِمَةٌ هُوَ قائِلُها وَمِنْ وَرائِهِمْ بَرْزَخٌ إِلى يَوْمِ يُبْعَثُونَ
Umur Akan Dimintai Pertanggung Jawaban
Waktu adalah sesuatu yang sangat berharga, jika berlalu maka ia tidak akan kembali lagi. Setiap kali waktu bergulir, maka semakin dekatlah ajal kita. Dan umur adalah nikmat yang akan dimintai pertanggungjawaban disisi Allah. Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam bersabda,
لَا تَزُولُ قَدَمُ ابْنِ آدَمَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ مِنْ عِنْدِ رَبِّهِ عَزَّ وَجَلَّ حَتَّى يَسْأَلَهُ عَنْ خَمْسٍ: عَنْ عُمْرِهِ فِيمَا أَفْنَاهُ، وَعَنْ شَبَابِهِ فِيمَا أَبْلَاهُ، وَعَنْ مَالِهِ مِنْ أَيْنَ اكْتَسَبَهُ وَفِيمَا أَنْفَقَهُ، وَمَا عَمِلَ فِيمَا عَلِمَ
Manfaatkanlah nikmat umur ini untuk beramal
Amat banyak orang-orang yang melewati harinya dengan hura-hura, foya-foya dan perbuatan sia-sia. Bahkan banyak diantara mereka yang manjadikan umurnya untuk ajang berbuat dosa danm kemurkaan Allah. Dia tidak mau memanfaatkan umurnya sebagai bekal di akherat atau tidak mau memanfaatkan umurnya utuk mengisi sesuatu yang berfaat bdalam dunianya. Seolah olah keadaannya mengatakan hidup itu Cuma sekali didunia saja maka manfaatkanlah untuk foya-foya. Tidak ada yang terbayang didalam benaknya kecuali menuruti hawa nafsunya. Maka kondisi orang yang seperti ini seperti binatang ternak bahkan lebih jelek. Nabi shallallahu’alaihi wasallam bersabda,
نِعْمَتَانِ مَغْبُونٌ فِيهِمَا كَثِيرٌ مِنَ النَّاسِ: الصِّحَّةُ وَالفَرَاغُ
Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam juga bersabda,
اغْتَنِمْ خَمْسًا قَبْلَ خَمْسٍ: شَبَابَكَ قَبْلَ هَرَمِكَ، وَصِحَّتَكَ قَبْلَ سَقَمِكَ، وَغِنَاكَ قَبْلَ فَقْرِكَ، وَفَرَاغَكَ قَبْلَ شُغْلِكَ، وَحَيَاتَكَ قَبْلَ مَوْتِكَ
Berkata Al-Munawi, “Lakukanlah lima perkara sebelum datang lima perkara. “Hidupmu sebelum matimu” yakni pergunakanlah (hidupmu pada) hal-hal yang akan memberikan manfaat setelah matimu, karena orang yang telah mati telah terputus amalannya, pupus harapannya, datang penyesalannya serta beruntun kesedihannya. Maka gadaikanlah dirimu untuk kebaikanmu. “Dan masa sehatmu sebelum sakitmu” yakni manfaatkanlah (kesempatan) senggangmu didunia ini sebelum disibukkan dengan kedahsyatan hari kiamat yang awal persinggahannya adalah alam kubur. Manfaatkanlah kesempatan yang diberikan, semoga kamu selamat gdari siksa dan kehinaan. “Dan masa mudamu sebelum masa tuamu”, yakni lakukan ketaatan saat kamu mampu sebelum datang usia tu manghinggapimu., sehingga engkau akan menyesali perbuatan yang telah engkau sia-siakan dari kewajiban terhadap Allah ta’ala. “Dan masa kayamun sebelum masa faqirmu” yakni ,memanfaatkan dengan bersedekah atas kelebihan hartamu sebelum engkau jatuh kepa musibah yang menjadikanmu faqir, (jika demikian) maka engkau akan menjadi faqir di dunia dan di akherat. Kelima hal ini tidak diketahui kadar besarnya kecuali setelah hilang.”[7]
Telah Datang peringatan
Terkadang telah datang peringatan dari tubuhnya sendiri. Hal ini menjadi peringatan akan dekatnya ajal menjemputnya. Sungguh uban yang telah menyelimuti kepala, kulit yang sudah mulai keriput, badan yang sudah mulai lemah merupakan tanda akan dekat ajal menjemputnya. Allah berfirman,
أَوَلَمْ نُعَمِّرْكُمْ مَا يَتَذَكَّرُ فِيهِ مَنْ تَذَكَّرَ وَجاءَكُمُ النَّذِيرُ فَذُوقُوا فَما لِلظَّالِمِينَ مِنْ نَصِيرٍ
Sebagian ahli tafsir menjelaskan arti, “Telah datang kepadamu peringatkan” yakni: uban.
Demikian juga apabila Allah telah memberikan umur hingga seorang mencapai umur 60 tahun, berarti Allah tidak meninggalkan sebab lagi agar seseorang memilki alasan. Kesempatan telah Allah berikan dan umur telah dipanjangkan. Nabi shallallahu’alaihi wasallam bersabda,
أَعْذَرَ اللَّهُ إِلَى امْرِئٍ أَخَّرَ أَجَلَهُ، حَتَّى بَلَّغَهُ سِتِّينَ سَنَةً
Maksud hadits ini adalah bahwa tidak ada lagi alasan baginya, seperti mengatakan, “Kalau umurku dipanjangkan, maka aku akan melakukan apa yang aku diperintahkan untuknya.” Dijadikannya umur empat puluh tahun sebagai batas udzur seseorang karena umur tersebut adalah umur yang mendekati ajal dan umur yang seharusnya seseorang kembali kepada Allah, khusyu’, dan mewaspadai datangnya kematian. Seorang yang lebih berumur enam puluh tahun hendaknya ia lebih menekuni amalan akherat secara total, karena sudah tidak mungkin lagi akan kembali dalam kondisinya yang pertama ketika dalam kondisi kuat dan semangat.”[9]
Umur Umat Ini
Allah telah mentakdirkan bahwa umur umat ini tidak sepanjang umur-umur umat terdahulu. Hal ini mengandung sebuah hikmah yang terkadang tidak diketahui oleh para hamba. Nabi shallallahu’alaihi wasallam telah bersabda didalam hadits yang telah diriwayatkan oleh At-Tirmidzi dari shahabat Abu Hurairah radhiyallahu’anhu,
أَعْمَارُ أُمَّتِي مَا بَيْنَ السِّتِّينَ إِلَى السَّبْعِينَ، وَأَقَلُّهُمْ مَنْ يَجُوزُ ذَلِكَ
Maksud hadits ini adalah bahwa keumuman umur umat ini antara 60 hingga 70 tahun, dengan realita yang bisa disaksikan. Dimana ada juga diantara umat ini yang (mati) sebelum umur 60 tahun. Ini termasuk dari rahmat Allah dan kasih sayangnya supaya umat ini tidak terlibat dalam kehidupan dunia kecuali hanya sebentar. Karena umur, badan, dan rizki umat-umat terdahulu lebih besar sekian kali lipat dibandingkan umat ini. Dahulu ada yang diberi umur seribu tahun, panjang tubuhnya mencapai sekitar 80 hasta atau kurang. Satu biji gandum besarnya seperti pinggang sapi. Satu delima diangkat oleh sepuluh orang. Mereka mengambil dari dunia sesuai dengan jasad dan umur mereka, sehingga mereka sombong dan berpaling dari Allah. Dan manusia pun terus mengalami bentuk penurunan fisik, rizki, dan ajal. Maka jadilah umat ini sebagai umat yang terakhir, yang mengambil rizki yang sedikit, dengan badan yang lemah, dan pada masa yang pendek supaya mereka tidak menyombongkan diri. Ini adalah bentuk kasih sayang Allah ta’ala kepada mereka.”[11]
Orang Yang Paling Baik
Manusia yang terbaik adalah manusia yang mengisi waktunya dengan amalan untuk kebaikan dunia dan akheratnya. Nabi shallallahu’alaihi wasallam bersabda,
خَيْرُ النَّاسِ مَنْ طَالَ عُمْرُهُ وَحَسُنَ عَمَلُهُ وَشَرَّ النَّاسِ مَنْ طَالَ عُمْرُهُ وَسَاءَ عَمَلُهُ
Seorang yang banyak kebaikannya, setiap kali dipanjangkan umurnya, maka akan banyak amalannya dan bertambajh pahala kebaikannya,
Dahulu ada dua orang yang datang kepada Nabi shallallahu’alaihi wasallam dan sama-sama masuk Islam. Salah satunya lebih bersemangat untuk beramal dari pada yang lainnya. Orang yang bersemanagat tersebut ikut pertempuran dan terbunuh. Temennya yang satu masih hidup satu tahun setelahnya, lalu meninggal diatas ranjangnya. Maka ada shahabat bernama Thalhah bin Ubaidillah radhiyallahu’anhu bermimpi tentang dua orang tersebut. Dalam mimpinya keduanya berada dipintu sorga. Maka orang yang matinya diatas ranjangnya dipersilahkan masuk sorga terlebih dahulu. Setelah itu temannya yang terbunuh dipersilahkan masuk. Pada pagi jharinya Thalhah bercerita kepada orang-orang dan mereka merasa takjub dengan hal tersebut, berita mimpi Thalhah dan takjubnya manisia pun sampai kepada Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam bersabda, “Bukankah (orang yang mati diranjangnya) ini masih hidup setahun setelah (kematian temennya yang terbunuh dijalan Allah) itu? Para shahabat menjawab, “Benar”. Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam bertanya lagi, “Dan ia mendapati bulan Ramadhan lalu ia puasa dan shalat sekian dan sekian dalam setahun?” para shahabat menjawab, “Benar”. Rasulullah bersabda, “Jarak (derajat) antara keduanya lebih jauh dari pada jarak antara langit dan bumi.”[13]
Karena amat berharga dan mahalnya umur seorang mu’min, maka dahulu ada seorang salaf mengatakan, “Sungguh satu jam kamu hidup padanya dengan kamu beristighfar kepada Allah lebih baik dari pada kamu mati selama setahun.
Dan dahulu ada seorang salaf yang sudah tua ditanya, “Apakah kamu ingin mati?” jawabnya, “Tidak. Karena masa masa muda dan kejahatannya telah berlalu, dan kini datang masa tua bersama kebaikannya. Jika aku berdiri aku mengucapkan bismillah, jika aku duduk aku mengucapkan alhamdulillah. Aku ingin untuk terus dalam kedaan seperti ini.”
Dan ada juga seorang salaf lainnya yang sudah tua ditanya, “Apa yang masih masih tersisa dari keinginanmu didunia ini?” Dia menkjawab, “Menangisi dosa-dosa yang telah aku perbuat.”
Oleh karena itu banyak dari salaf kita yang menangis ketika mau meninggal. Bukan karena sedih berpisah dengan kenikmatan dunia, mnamun bersedih lkarena terputus dengan amalan-amalan shalat malam yang dia lakukan, puasa, tilawatul Qu’an dan yang lainnya. Hal ini seperti yang dialami oleh Yazid bin Aban Ar-Raqqasyi rahimahullah.[14]
Larangan Meminta Kematian
Tidak seyogyanya seorang meminta kematian tanpa ada sebab yang dibenarakan. Diantara sebab yang diperbolehkan adalah ketika ia merasa yakin apabila ia masih hidup maka ada indikasi yang kuat bahwa cobaan yang menderanya akan menyesatkannya dari agama Allah. namun apabila alasannya tidak diperbiolehkan semisal seorang yang ditimpa penyakit dan sudah berobat namun penyakitnya tidak kunjung sembuh, atau dililit hutang dan semisalnya, maka meminta mati dalam hal ini adalah sesuatu yang tidak diperbolehkan. nabi shallallahu’alaihi wasallam bersabda,
لَا يَتَمَنَّيَنَّ أَحَدُكُمُ الْمَوْتَ لِضُرٍّ نَزَلَ بِهِ، فَإِنْ كَانَ لَا بُدَّ مُتَمَنِّيًا فَلْيَقُلْ: اللهُمَّ أَحْيِنِي مَا كَانَتِ الْحَيَاةُ خَيْرًا لِي، وَتَوَفَّنِي إِذَا كَانَتِ الْوَفَاةُ خَيْرًا لِي
Seorang mu’min selalu meminta yang terbaik kepada Allah. Karena seseorang tidak tahu apakah setelah kematian kondisinya lebih baik atau justeru sebaliknya. Dengan kematian, seorang telah terputus dari amalannya dan tidak bermanfaat lagi taubat dan penyesalan.
Habib bin ‘Isa Al-Farisi rahimahullah merasa gusar ketika kematian menjemputnya. Ia mengatakan, “Sunguh akan akan pergi dengan menempuh perjalanan jauh yang belum pernah aku tempuh. Aku akan menelusuri suatu jalan yang belum pernah aku telusuri. Akau akan berjalan menunggu kekasihku (Allah ta’ala) yang belum pernah sama sekali aku melihat-Nya. Dan aku akan melihat kedahsyatan yang belum pernah aku melihat sebelumnya”[16]
Memohon Agar Dipanjangkan Umur
Panjangnya umur bukanlah jaminan selamatnya seseorang dari adzab. Lihatlah bagaimana orang-orang Yahudi amat sangat beranbisi agar mereka diberi umur yang panjang. Sebagaimana Allah berfirman,
يَوَدُّ أَحَدُهُمْ لَوْ يُعَمَّرُ أَلْفَ سَنَةٍ وَما هُوَ بِمُزَحْزِحِهِ مِنَ الْعَذابِ أَنْ يُعَمَّرَ
Adapun seorang mu’min tidaklah bertambah umur kecuali akan bertambah baginya kebaikan. Oleh kerena itu diperbolehkan bagi seseorang untuk meminta kepada Allah agar dipanjangkan umur. Sebagai mana Nabi shallallahu’alaihi wasallam pernah mendoakan Anas bin Malik radhiyallahu’anhu,
اللَّهُمَّ أَكْثِرْ مَالَهُ وَولَدَهُ وَأدْخِلْهُ الْجَنَّةَ
Berkata Syaikh Al-Albani, “Pada hadits diatas, terdapat faedah tentang bolehnya mendoakan panjangnya umur bagi seseorang.”[18]
Namun seyogyanya doa meminta panjang umur tersebut dibarengi dengan permohonan kebaikan dan barakah. Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin berkata, “Tidak sepantasnya seseorang mengucapkan (selamat) panjang umur, karena panjangnya umur terkadang baik dan terkadang jelek. Orang yang jelek adalah seorang yang panjang umurnya lagi jelek amalannya. Berdasarkan hal tadi maka tidak mengapa seseorang mendoakan, ‘Semoga Allah panjangkan umurmu diatas ketaatan kepada Allah atau yang semisalnya’.”[19]
Tauladan Para Salaf Didalam Menjaga Waktu Diatas Ketaatan
Apabila kita membuka lembaran generasi para salaf dan kesungguhan mereka di dalam memanfaatkan waktu untuk ketaatan, maka sungguh kita akan merasa takjub dan seolah-olah itu hanyalah dongeng semata yang tidak ada di alam nyata. Mereka adalah generasi yang lebih mementingkan kehidupan akherat dari pada dunia. Mereka adalah orang-orang yang siap berkorban dengan jiwa, harta, dan raganya dalam rangka membela agama Islam. Mereka akan sipa berkorban untuk semua itu walaupun dengan resiko dimurkai oleh manusia.
Oleh karena itu sangat penting bagi kita untuk mencermati lembaran-lembaran mereka didalam hal memanfaatkan waktu untuk ketaatan, agar semangat menjadi tumbuh dan kemalasan akan terenyahkan. Dalam Al-Qur’an Allah telah mensifati hamba-hamba-Nya yang diridhoi-Nya dengan firman-Nya,
كانُوا قَلِيلاً مِنَ اللَّيْلِ مَا يَهْجَعُونَ وَبِالْأَسْحارِ هُمْ يَسْتَغْفِرُونَ
Mereka melewati malam-malam yang panjang bukanah untuk begadang dalam hal-hal yang tidak bermanfaat atau tidur terlelap sepanjang malam, akan tetapi mereka melewatinya untuk beristighfar dari kesalahan-kesalahan dan kekurangan mereka. Demikian pula Ibrahim dan Ismail ‘alaihimassalam tatkala selesai membangun Ka’bah, rumah Allah yang termulia, ditempat yang paling mulia yaitu Makkah. Keduanya berdoa:
رَبَّنا تَقَبَّلْ مِنَّا
Berbeda dengan seorang yang jelek, mereka menggabungkan antara jeleknya perbuatan dan sikap merasa aman dari adzab Allah.
Inilah shahabat Abdullah bin umar radhiyallahu’anhuma, ketika Abu Hurairah radhiyallahu’anhu memberitahukannya tentang hadits Nabi shallallahu’alaihi wasallam bahwa orang yang menshalati janazah akan mendapatkan pahala satu qirath, dan barang siapa yang mengantarkannya sampai kubur dia mendapatkan pahala dua qirath. Abdullah bin Umar belum pernah mendengar hadits itu, lalu ia mengutus seseorang untuk bertanya kepada ‘Aisyah, dan ia menjawab, “Benar apa yang dikatakan Abu Hurairah.” Ketika utusan tadi telah pulang dan mengabarkannya, Abdullah mengatakan dengan ucapan penyesalan, “Sungguh kita telah menyia-nyiakan qirath yang banyak.”[20]
Demikianlah Abdullah bin Umar radhiyallahu’anhuma sangat menyesal karena telah terlewatkan untuk mendapat pahala yang besar. Namun pernahkah kita menyesalai atas terluputnya amalan ketaatan yang terluput pada diri kita? Atau justeru yang kita sesali adalah terluputnya kemewahan dunia.
Dahulu apabila seorang Ahli hadits mendiktekan hadits kepada murid-muridnya dan ia berhenti sejenak untuk memberi kesempatan muridnya dalam rangka menulis hadits, ia memanfaatkan waktu yang sejenak itu untuk beristighfar dan bertasbih.
Dahulu ada yang menyebutkan tentang Al-Imam Abdullah bin Al-Imam Ahmad rahimahullah, “Tidaklah aku melihatnya kecuali ia sedang membaca, tersenyum atau sedang meneliti (suatu permasalahan agama).
Al-Imam Adz-Dzahabi menyebutkan tentang biografi Abdul Wahhab bin Al-Wahhab bin Al-Amin rahimahullah bahwa waktunya sangat terjaga. Tidaklah berlalu suatu saat kecuali dia sedang membaca, berdzikir, tahajjud, atau setor hafalan.[21]
Berlindung Kepada Allah Dari Penyakit Pikun
Semakin berlanjut usia seseorang semakin berkurang kekuatannya dan melemah fisiknya sehingga kembali kepada kondisi yang serupa dengan anak kecil yang lemah tubuhnya, sedikit akalnya, dan kurang pengetahuannya. Oleh karena itu diantara doa Nabi shallallahu’alaihi wasallam,
“Wahai Allah aku berlindung kepada-Mu dari kelemahan, kemalasan, pengecut, dan kepikunan.”[22]
Bersiap-siaplah Untuk Menghadapi Akherat
Ketahuilah bahwa setan senantiasa membisikan untuk mengakhirkan taubat hingga akhir umurnya. Sehingga apabila telah mati barulah ia merasa menyesal akibat apa yang telah ia sia-siakan dari umurnya untuk menuruti syahwat dunianya yang semu. Ia berangan-angan agar dikembalikan kedunia agar beramal shaleh namun itu sudah tidak bermanfaat lagi. Allah sudah memperingatkan para hamba untuk bersiap-siap menghadapi akherat. Dan memerintahkan mereka untuk segera bertaubat dari kesalahan-kesalahn dan dosa. Allah berfirman,
وَأَنِيبُوا إِلى رَبِّكُمْ وَأَسْلِمُوا لَهُ مِنْ قَبْلِ أَنْ يَأْتِيَكُمُ الْعَذابُ ثُمَّ لا تُنْصَرُونَ
وَاتَّبِعُوا أَحْسَنَ مَا أُنْزِلَ إِلَيْكُمْ مِنْ رَبِّكُمْ مِنْ قَبْلِ أَنْ يَأْتِيَكُمُ الْعَذابُ بَغْتَةً وَأَنْتُمْ لا تَشْعُرُونَ أَنْ تَقُولَ نَفْسٌ يَا حَسْرَتى عَلى مَا فَرَّطْتُ فِي جَنْبِ اللَّهِ
Berkata Ali bin Abi Thalib, “Dunia pergi membelakangi, sedangkan akherat telah datang menyambut dan masing-masing dari keduanya memilki anak-anak (pecinta) nya. Maka jadilah kalian termasuk ahli akherat dan janganlah menjadi ahli dunia. Karena hari ini (kehidupan didunia) adalah tempat beramal bukan hisab, dan besok (kiamat) hanya ada hisab bukan amal.”[23]
Nabi shallallahu’alaihi wasallam bersabda,
لاَ يَزَالُ قَلْبُ الكَبِيرِ شَابًّا فِي اثْنَتَيْنِ: فِي حُبِّ الدُّنْيَا وَطُولِ الأَمَلِ
Oleh karena itu wahai kaum muslimin usia adalah hakekat hidup kita. Makin bertambah usia, makin berkurang umur kita. Mengherankan tingkah sebagian orang yang merayakan ulang tahunnya setiap tahun. Seringkali diiringi dengan hinggar binggar dan hura-hura. Lupa saat ajal tiba, tidak ada lagi “kesempatan kedua” untuk bertaubat dan mengayam kebaikan. Adapun orientasi hidup seorang mukmin adalah beribadah kapada Allah dengan semaksimal mungkin dan munggunakan waktunya untuk meningkatkan amal shalih, yang merupaka jalan menuju sorga.
Wallahu a’lam Bish Shawwab.
Sumber: http://islamkita.net/?p=89
[1] Taisir Al-‘Aliyyir Qadir: 4/339.
[2] Ma’alim fi Thariq Thalabil ‘Ilmi: hal.32.
[3] HR. Al-Bukhari: 6416.
[4] HR. At-Tirmidzi dari Ibnu Mas’ud radhiyallahu’anhu. Lihat As-Shahihah, no.946.
[5] HR. Bukhari dan At-Tirmidzi. Lihat Shahih At-tirmidzi no.2304.
[6] HR. Al-Hakim dan selainnya.dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani dalam As-Shahihul Jami’ no.1077.
[7] Faidhul Qadhir: 2/21.
[8] HR. Al-Bukhari: no.6419.
[9] Fathul Bari: 11/240.
[10] Hadits ini dihasankan oleh Al-Hafidz Ibnu Hajar didalam Fathul Bari: 11/240.
[11] Disadur secara makna dari perkataan Imam At-thibi didalan kitab Al-Faidhul Qadir: 2/15.
[12] HR. Ahmad, At-Tirmidzi dan Al-Hakim dari Abu Bakrah radhiyallahu’anhu, lihat Shahihul Jami’ no: 3297.
[13] Shahih Sunan Ibnu Majah: no.3185.
[14] Lihat Syarah hadits Allahumma Bi’ilmika al-Ghaib. Karya Ibnu Rajab rahimahullah, hal.25-26.
[15] HR. Al-Bukhari no.5671.
[16] Syarah hadits Allahumma Bi’ilmika al-Ghaib. Karya Ibnu Rajab rahimahullah, hal.32 dan Hilyatul Auliya’: 149-155.
[17] Shahih Al-Adab Al-Mufrad: no.508.
[18] Syarah Shahih Al-Adab Al-mufrad: 2/311
[19] Al-Manahi Al-Lafdziyyah, hal. 89.
[20] Sunan Ath-Tirmidzi: 1040. Cet. Al-Ma’arif.
[21] Ma’alim Fi Thariq Thalabil ‘Ilmi, karya Abdul Azizi As-sadhan. Hal. 33-37. Umur anegerah yang terabaikan tulisan Al-Ustadz Abdul Mu’thi Lc, majalah Asy-Syariah vol.III rubrik Akhlaq.
[22] HR. Al-Bukhari: no.6367.
[23] Shahih Al-Bukhari, Kitab Ar-Riqaq Bab Fil Amal Wa Thulihi.
[24] HR. Al-Bukhari: no. 6420.