Desember 2013 - LSIBA IMAM SYAFI'I
Berita terbaru :

Arti penting Umur Manusia

Diposting OlehUnknown Pada Minggu, 22 Desember 2013 | 2:39 PM

Arti penting Umur Manusia
Seorang yang akan bepergian jauh tentu akan mempersiapkan bekal dengan sebaik-baiknya dan perbekalan yang cukup. Ambil contoh seseorang yang hendak melakukan perjalanan haji, tentulah ia akan mempersiapkan bekal yang cukup dan mengumpulkan bekal yang cukup lama, yang mana ibadah haji hanya berlangsung sebentar saja, hanya beberapa hari. Sama juga seorang yang hendak menikah akan mempersiapkan bekal pernikahan dan biaya pernikahan yang itu terkadang didapat setelah ia bekerja keras dan lama mengumpulkannya. Lalu yang menjadi buah pertanyaan bagi kita sudahkah kita mempersiapkan perbekalan untuk suatu perjalanan yang tiada akhirnya? Yakni perjalanan akhirat. Dunia ini tidak lain hanyalah tempat singgah sementara, yang mana manusia akan melanjutkan perjalanannya ke negeri akherat yang tiada akhirnya.

Maka sudah semestinya kita mempersiapkan perbekalan untuk kehidaupan panjang yang tiada akhirnya. Allah berfirman,

يا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَلْتَنْظُرْ نَفْسٌ مَا قَدَّمَتْ لِغَدٍ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِما تَعْمَلُونَ

Wahai orang-orang yang beriman bertakwalah kalian kepada Allah, dan hendaknya setiap diri memperhatikan tentang apa yang akan diperbuat olehnya untuk esok hari (akherat). Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah maha mengetahui apa yang engkau kerjakan.” (Al-Hasyr: 18)

Ibnu Katsir rahimahullah berkata, “Hisablah diri kalian sebelum dihisab, perhatikanlah tentang apa yang sudah kalian simpan dari amal shalih untuk hari kebangkitan. Serta (hal-hal) yang dinampakkan kepada Rab kaliaan.”[1]

Namun amat sangat disayangkan masih ada sebagian kaum muslimin yang berprinsip, baru akan memperbanyak ibadah dan mendekatkan diri kepada Allah setelah berusia senja, setelah pensiun, atau purna tugas, padahal dia tidak tahu umur berapa ia akan meninggal.

Bersegeralah Dalam Beramal

“Mumpung masih muda mas puas-puasin aja dan nikmati masa muda, kan gampang setelah tua nanti baru sadar.” Inilah ucapan yang acap kali kita dengar dari orang-orang yang bergelimang dengan maksiat dan jauh dari ketaatan. Padahal tahukah dia kalau umurnya bakalan panjang? Apakah punya rekomendasi dari Allah dengan tanda tangan malakat yang menyatakan umurnya bakal panjang? Kalau seandainya ia ditakdirkan panjang apakah ada jaminan bahwa dia akan sadar? Ayau jesteru malah makin tua makin menjadi maksiatnya?! Allah ta’ala berfirman,

وَما تَدْرِي نَفْسٌ مَاذَا تَكْسِبُ غَداً وَما تَدْرِي نَفْسٌ بِأَيِّ أَرْضٍ تَمُوتُ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ

Dan tiada seseorang pun yang dapat mengetahui (dengan pasti) apa yang akan diusahakan untuk hari esok. Dan tiada seorang pun yang mengetahui dibumi mana dia akan mati. Sesunguhnya Allah maha mengetahui lagi maha mengenal.” (Luqman: 34)

Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Sesungguhnya banyak berangan-angan adalah modalnya orang-orang yang bangkrut.”[2]

Abdullah bin Umar berkata,

إِذَا أَمْسَيْتَ فَلاَ تَنْتَظِرِ الصَّبَاحَ، وَإِذَا أَصْبَحْتَ فَلاَ تَنْتَظِرِ المَسَاءَ، وَخُذْ مِنْ صِحَّتِكَ لِمَرَضِكَ، وَمِنْ حَيَاتِكَ لِمَوْتِكَ

Apabila engkau berada diwaktu sore janganlah menunggu (menunda beramal) diwaktu pagi. Dan jika berada diwaktu pagi, janganlah (menunda beramal) diwaktu sore. Gunakanlah masa sehatmu untuk masa sakitmu, dan hidupmu untuk matimu.”[3]

Maka janganlah lewatkan kesempatan hidup ini sebelum datangnya kematian. Allah berfirman,

حَتَّى إِذا جاءَ أَحَدَهُمُ الْمَوْتُ قالَ رَبِّ ارْجِعُونِ لَعَلِّي أَعْمَلُ صالِحاً فِيما تَرَكْتُ كَلاَّ إِنَّها كَلِمَةٌ هُوَ قائِلُها وَمِنْ وَرائِهِمْ بَرْزَخٌ إِلى يَوْمِ يُبْعَثُونَ

(Demikianlah keadaan orang-orang kafir itu), hingga apabila datang kematian kepada salah seorang dari mereka, dia berkata: ‘wahai Rabku, kembalikanlah aku (ke dunia), agar aku dapat beramal shalih terhadap apa yang telah aku tinggalkan.’sekali-kali tidak. Sesungguhnya itu hanyalah perkataan yang diucapkan saja.” (Al-Mu’minun: 99-100)

Umur Akan Dimintai Pertanggung Jawaban

Waktu adalah sesuatu yang sangat berharga, jika berlalu maka ia tidak akan kembali lagi. Setiap kali waktu bergulir, maka semakin dekatlah ajal kita. Dan umur adalah nikmat yang akan dimintai pertanggungjawaban disisi Allah. Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam bersabda,

لَا تَزُولُ قَدَمُ ابْنِ آدَمَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ مِنْ عِنْدِ رَبِّهِ عَزَّ وَجَلَّ حَتَّى يَسْأَلَهُ عَنْ خَمْسٍ: عَنْ عُمْرِهِ فِيمَا أَفْنَاهُ، وَعَنْ شَبَابِهِ فِيمَا أَبْلَاهُ، وَعَنْ مَالِهِ مِنْ أَيْنَ اكْتَسَبَهُ وَفِيمَا أَنْفَقَهُ، وَمَا عَمِلَ فِيمَا عَلِمَ

Tidak akan bergeser kaki manusia pada hari kiamat dari sisi Rabnya sehinga ditanya tentang lima hal: tentang umurnya untuk apa ia pergunakan, masa mudanya untuk apa ia habiskan, tentang hartanya dari mana ia peroleh dan kemana ia infakkan, dan tentang ilmunya apa yang ia amalkan (darinya).”[4]

Manfaatkanlah nikmat umur ini untuk beramal

Amat banyak orang-orang yang melewati harinya dengan hura-hura, foya-foya dan perbuatan sia-sia. Bahkan banyak diantara mereka yang manjadikan umurnya untuk ajang berbuat dosa danm kemurkaan Allah. Dia tidak mau memanfaatkan umurnya sebagai bekal di akherat atau tidak mau memanfaatkan umurnya utuk mengisi sesuatu yang berfaat bdalam dunianya. Seolah olah keadaannya mengatakan hidup itu Cuma sekali didunia saja maka manfaatkanlah untuk foya-foya. Tidak ada yang terbayang didalam benaknya kecuali menuruti hawa nafsunya. Maka kondisi orang yang seperti ini seperti binatang ternak bahkan lebih jelek. Nabi shallallahu’alaihi wasallam bersabda,

نِعْمَتَانِ مَغْبُونٌ فِيهِمَا كَثِيرٌ مِنَ النَّاسِ: الصِّحَّةُ وَالفَرَاغُ

(Ada) dua nikmat yang kebanyakan orang tertipu olehnya, yaitu nikmat sehat, dan waktu senggang.”[5]

Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam juga bersabda,

اغْتَنِمْ خَمْسًا قَبْلَ خَمْسٍ: شَبَابَكَ قَبْلَ هَرَمِكَ، وَصِحَّتَكَ قَبْلَ سَقَمِكَ، وَغِنَاكَ قَبْلَ فَقْرِكَ، وَفَرَاغَكَ قَبْلَ شُغْلِكَ، وَحَيَاتَكَ قَبْلَ مَوْتِكَ

Manfaatkanlah lima perkara sebelum datang lima perkara: masa hidupmu sebelum matimu, masa sehatmu sebelum sakitmu, masa senggangmu sebelum masa sibukmu, masa mudamu sebelum tuamu, dan masa kayamu sebelum,masa fakirmu.”[6]

Berkata Al-Munawi, “Lakukanlah lima perkara sebelum datang lima perkara. “Hidupmu sebelum matimu” yakni pergunakanlah (hidupmu pada) hal-hal yang akan memberikan manfaat setelah matimu, karena orang yang telah mati telah terputus amalannya, pupus harapannya, datang penyesalannya serta beruntun kesedihannya. Maka gadaikanlah dirimu untuk kebaikanmu. “Dan masa sehatmu sebelum sakitmu” yakni manfaatkanlah (kesempatan) senggangmu didunia ini sebelum disibukkan dengan kedahsyatan hari kiamat yang awal persinggahannya adalah alam kubur. Manfaatkanlah kesempatan yang diberikan, semoga kamu selamat gdari siksa dan kehinaan. “Dan masa mudamu sebelum masa tuamu”, yakni lakukan ketaatan saat kamu mampu sebelum datang usia tu manghinggapimu., sehingga engkau akan menyesali perbuatan yang telah engkau sia-siakan dari kewajiban terhadap Allah ta’ala. “Dan masa kayamun sebelum masa faqirmu” yakni ,memanfaatkan dengan bersedekah atas kelebihan hartamu sebelum engkau jatuh kepa musibah yang menjadikanmu faqir, (jika demikian) maka engkau akan menjadi faqir di dunia dan di akherat. Kelima hal ini tidak diketahui kadar besarnya kecuali setelah hilang.”[7]

Telah Datang peringatan

Terkadang telah datang peringatan dari tubuhnya sendiri. Hal ini menjadi peringatan akan dekatnya ajal menjemputnya. Sungguh uban yang telah menyelimuti kepala, kulit yang sudah mulai keriput, badan yang sudah mulai lemah merupakan tanda akan dekat ajal menjemputnya. Allah berfirman,

أَوَلَمْ نُعَمِّرْكُمْ مَا يَتَذَكَّرُ فِيهِ مَنْ تَذَكَّرَ وَجاءَكُمُ النَّذِيرُ فَذُوقُوا فَما لِلظَّالِمِينَ مِنْ نَصِيرٍ

Dan apakah kami telah memanjangkan umurmu dalam masa yang cukup untuk berfikir nbagi ourang-orang yang mau berpikir, dan (apakah) tidak datng kepadamu pemberi peringatan?” (Fathir: 37)

Sebagian ahli tafsir menjelaskan arti, “Telah datang kepadamu peringatkan” yakni: uban.

Demikian juga apabila Allah telah memberikan umur hingga seorang mencapai umur 60 tahun, berarti Allah tidak meninggalkan sebab lagi agar seseorang memilki alasan. Kesempatan telah Allah berikan dan umur telah dipanjangkan. Nabi shallallahu’alaihi wasallam bersabda,

أَعْذَرَ اللَّهُ إِلَى امْرِئٍ أَخَّرَ أَجَلَهُ، حَتَّى بَلَّغَهُ سِتِّينَ سَنَةً

Allah telah memberikan puncak udzur/alasan bagi seseorang yang diakhirkan ajalnya hingga mencapai usia enam puluh tahun.”[8]

Maksud hadits ini adalah bahwa tidak ada lagi alasan baginya, seperti mengatakan, “Kalau umurku dipanjangkan, maka aku akan melakukan apa yang aku diperintahkan untuknya.” Dijadikannya umur empat puluh tahun sebagai batas udzur seseorang karena umur tersebut adalah umur yang mendekati ajal dan umur yang seharusnya seseorang kembali kepada Allah, khusyu’, dan mewaspadai datangnya kematian. Seorang yang lebih berumur enam puluh tahun hendaknya ia lebih menekuni amalan akherat secara total, karena sudah tidak mungkin lagi akan kembali dalam kondisinya yang pertama ketika dalam kondisi kuat dan semangat.”[9]

Umur Umat Ini

Allah telah mentakdirkan bahwa umur umat ini tidak sepanjang umur-umur umat terdahulu. Hal ini mengandung sebuah hikmah yang terkadang tidak diketahui oleh para hamba. Nabi shallallahu’alaihi wasallam telah bersabda didalam hadits yang telah diriwayatkan oleh At-Tirmidzi dari shahabat Abu Hurairah radhiyallahu’anhu,

أَعْمَارُ أُمَّتِي مَا بَيْنَ السِّتِّينَ إِلَى السَّبْعِينَ، وَأَقَلُّهُمْ مَنْ يَجُوزُ ذَلِكَ

Umur-umur umatku antara 60 sampai 70, dan sedikit dari mereka yang melebihi dari itu.”[10]

Maksud hadits ini adalah bahwa keumuman umur umat ini antara 60 hingga 70 tahun, dengan realita yang bisa disaksikan. Dimana ada juga diantara umat ini yang (mati) sebelum umur 60 tahun. Ini termasuk dari rahmat Allah dan kasih sayangnya supaya umat ini tidak terlibat dalam kehidupan dunia kecuali hanya sebentar. Karena umur, badan, dan rizki umat-umat terdahulu lebih besar sekian kali lipat dibandingkan umat ini. Dahulu ada yang diberi umur seribu tahun, panjang tubuhnya mencapai sekitar 80 hasta atau kurang. Satu biji gandum besarnya seperti pinggang sapi. Satu delima diangkat oleh sepuluh orang. Mereka mengambil dari dunia sesuai dengan jasad dan umur mereka, sehingga mereka sombong dan berpaling dari Allah. Dan manusia pun terus mengalami bentuk penurunan fisik, rizki, dan ajal. Maka jadilah umat ini sebagai umat yang terakhir, yang mengambil rizki yang sedikit, dengan badan yang lemah, dan pada masa yang pendek supaya mereka tidak menyombongkan diri. Ini adalah bentuk kasih sayang Allah ta’ala kepada mereka.”[11]

Orang Yang Paling Baik

Manusia yang terbaik adalah manusia yang mengisi waktunya dengan amalan untuk kebaikan dunia dan akheratnya. Nabi shallallahu’alaihi wasallam bersabda,

خَيْرُ النَّاسِ مَنْ طَالَ عُمْرُهُ وَحَسُنَ عَمَلُهُ وَشَرَّ النَّاسِ مَنْ طَالَ عُمْرُهُ وَسَاءَ عَمَلُهُ

Sebaik-baik manusia adalah yang panjang umurnya dan baik amalannya. Dan sejelek-jelek manusia adalah yang panjang umurnya dan jelek amalannya.”[12]

Seorang yang banyak kebaikannya, setiap kali dipanjangkan umurnya, maka akan banyak amalannya dan bertambajh pahala kebaikannya,

Dahulu ada dua orang yang datang kepada Nabi shallallahu’alaihi wasallam dan sama-sama masuk Islam. Salah satunya lebih bersemangat untuk beramal dari pada yang lainnya. Orang yang bersemanagat tersebut ikut pertempuran dan terbunuh. Temennya yang satu masih hidup satu tahun setelahnya, lalu meninggal diatas ranjangnya. Maka ada shahabat bernama Thalhah bin Ubaidillah radhiyallahu’anhu bermimpi tentang dua orang tersebut. Dalam mimpinya keduanya berada dipintu sorga. Maka orang yang matinya diatas ranjangnya dipersilahkan masuk sorga terlebih dahulu. Setelah itu temannya yang terbunuh dipersilahkan masuk. Pada pagi jharinya Thalhah bercerita kepada orang-orang dan mereka merasa takjub dengan hal tersebut, berita mimpi Thalhah dan takjubnya manisia pun sampai kepada Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam bersabda, “Bukankah (orang yang mati diranjangnya) ini masih hidup setahun setelah (kematian temennya yang terbunuh dijalan Allah) itu? Para shahabat menjawab, “Benar”. Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam bertanya lagi, “Dan ia mendapati bulan Ramadhan lalu ia puasa dan shalat sekian dan sekian dalam setahun?” para shahabat menjawab, “Benar”. Rasulullah bersabda, “Jarak (derajat) antara keduanya lebih jauh dari pada jarak antara langit dan bumi.”[13]

Karena amat berharga dan mahalnya umur seorang mu’min, maka dahulu ada seorang salaf mengatakan, “Sungguh satu jam kamu hidup padanya dengan kamu beristighfar kepada Allah lebih baik dari pada kamu mati selama setahun.

Dan dahulu ada seorang salaf yang sudah tua ditanya, “Apakah kamu ingin mati?” jawabnya, “Tidak. Karena masa masa muda dan kejahatannya telah berlalu, dan kini datang masa tua bersama kebaikannya. Jika aku berdiri aku mengucapkan bismillah, jika aku duduk aku mengucapkan alhamdulillah. Aku ingin untuk terus dalam kedaan seperti ini.”

Dan ada juga seorang salaf lainnya yang sudah tua ditanya, “Apa yang masih masih tersisa dari keinginanmu didunia ini?” Dia menkjawab, “Menangisi dosa-dosa yang telah aku perbuat.”

Oleh karena itu banyak dari salaf kita yang menangis ketika mau meninggal. Bukan karena sedih berpisah dengan kenikmatan dunia, mnamun bersedih lkarena terputus dengan amalan-amalan shalat malam yang dia lakukan, puasa, tilawatul Qu’an dan yang lainnya. Hal ini seperti yang dialami oleh Yazid bin Aban Ar-Raqqasyi rahimahullah.[14]

Larangan Meminta Kematian

Tidak seyogyanya seorang meminta kematian tanpa ada sebab yang dibenarakan. Diantara sebab yang diperbolehkan adalah ketika ia merasa yakin apabila ia masih hidup maka ada indikasi yang kuat bahwa cobaan yang menderanya akan menyesatkannya dari agama Allah. namun apabila alasannya tidak diperbiolehkan semisal seorang yang ditimpa penyakit dan sudah berobat namun penyakitnya tidak kunjung sembuh, atau dililit hutang dan semisalnya, maka meminta mati dalam hal ini adalah sesuatu yang tidak diperbolehkan. nabi shallallahu’alaihi wasallam bersabda,

لَا يَتَمَنَّيَنَّ أَحَدُكُمُ الْمَوْتَ لِضُرٍّ نَزَلَ بِهِ، فَإِنْ كَانَ لَا بُدَّ مُتَمَنِّيًا فَلْيَقُلْ: اللهُمَّ أَحْيِنِي مَا كَانَتِ الْحَيَاةُ خَيْرًا لِي، وَتَوَفَّنِي إِذَا كَانَتِ الْوَفَاةُ خَيْرًا لِي

Janganlah salah seorang diantara kalian mengangan-angankan kematian karena penderitaan yang menimpanya. Jika mau tidak mau harus berbuat, maka ucapkanlah, ‘Wahai Allah hidupkanlah aku jika memang hidup itu lebih baik bagiku. Dan wafatkanlah aku jika memang wafat itu lebih baik bagiku.”[15]

Seorang mu’min selalu meminta yang terbaik kepada Allah. Karena seseorang tidak tahu apakah setelah kematian kondisinya lebih baik atau justeru sebaliknya. Dengan kematian, seorang telah terputus dari amalannya dan tidak bermanfaat lagi taubat dan penyesalan.

Habib bin ‘Isa Al-Farisi rahimahullah merasa gusar ketika kematian menjemputnya. Ia mengatakan, “Sunguh akan akan pergi dengan menempuh perjalanan jauh yang belum pernah aku tempuh. Aku akan menelusuri suatu jalan yang belum pernah aku telusuri. Akau akan berjalan menunggu kekasihku (Allah ta’ala) yang belum pernah sama sekali aku melihat-Nya. Dan aku akan melihat kedahsyatan yang belum pernah aku melihat sebelumnya”[16]

Memohon Agar Dipanjangkan Umur

Panjangnya umur bukanlah jaminan selamatnya seseorang dari adzab. Lihatlah bagaimana orang-orang Yahudi amat sangat beranbisi agar mereka diberi umur yang panjang. Sebagaimana Allah berfirman,

يَوَدُّ أَحَدُهُمْ لَوْ يُعَمَّرُ أَلْفَ سَنَةٍ وَما هُوَ بِمُزَحْزِحِهِ مِنَ الْعَذابِ أَنْ يُعَمَّرَ

Masing-masing mereka berangan-angan agar diberi umur seribu tahun, padahal umur panjang tersebut tidaklah sekali-kali menjauhkan dari siksa.” (Al-Baqarah: 96)

Adapun seorang mu’min tidaklah bertambah umur kecuali akan bertambah baginya kebaikan. Oleh kerena itu diperbolehkan bagi seseorang untuk meminta kepada Allah agar dipanjangkan umur. Sebagai mana Nabi shallallahu’alaihi wasallam pernah mendoakan Anas bin Malik radhiyallahu’anhu,

اللَّهُمَّ أَكْثِرْ مَالَهُ وَولَدَهُ وَأدْخِلْهُ الْجَنَّةَ

Wahai Allah perbanyaklah hartanya, anaknya, dan panjangkanlah umurnya.” [17]

Berkata Syaikh Al-Albani, “Pada hadits diatas, terdapat faedah tentang bolehnya mendoakan panjangnya umur bagi seseorang.”[18]

Namun seyogyanya doa meminta panjang umur tersebut dibarengi dengan permohonan kebaikan dan barakah. Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin berkata, “Tidak sepantasnya seseorang mengucapkan (selamat) panjang umur, karena panjangnya umur terkadang baik dan terkadang jelek. Orang yang jelek adalah seorang yang panjang umurnya lagi jelek amalannya. Berdasarkan hal tadi maka tidak mengapa seseorang mendoakan, ‘Semoga Allah panjangkan umurmu diatas ketaatan kepada Allah atau yang semisalnya’.”[19]

Tauladan Para Salaf Didalam Menjaga Waktu Diatas Ketaatan

Apabila kita membuka lembaran generasi para salaf dan kesungguhan mereka di dalam memanfaatkan waktu untuk ketaatan, maka sungguh kita akan merasa takjub dan seolah-olah itu hanyalah dongeng semata yang tidak ada di alam nyata. Mereka adalah generasi yang lebih mementingkan kehidupan akherat dari pada dunia. Mereka adalah orang-orang yang siap berkorban dengan jiwa, harta, dan raganya dalam rangka membela agama Islam. Mereka akan sipa berkorban untuk semua itu walaupun dengan resiko dimurkai oleh manusia.

Oleh karena itu sangat penting bagi kita untuk mencermati lembaran-lembaran mereka didalam hal memanfaatkan waktu untuk ketaatan, agar semangat menjadi tumbuh dan kemalasan akan terenyahkan. Dalam Al-Qur’an Allah telah mensifati hamba-hamba-Nya yang diridhoi-Nya dengan firman-Nya,

كانُوا قَلِيلاً مِنَ اللَّيْلِ مَا يَهْجَعُونَ وَبِالْأَسْحارِ هُمْ يَسْتَغْفِرُونَ

“Mereka sedikit sekali tidur diwaktu malam. Dan diakhir-akhir malam mereka beristighfar (memohon ampun kepada Allah).” (Adz-Dzariyat: 17-18)

Mereka melewati malam-malam yang panjang bukanah untuk begadang dalam hal-hal yang tidak bermanfaat atau tidur terlelap sepanjang malam, akan tetapi mereka melewatinya untuk beristighfar dari kesalahan-kesalahan dan kekurangan mereka. Demikian pula Ibrahim dan Ismail ‘alaihimassalam tatkala selesai membangun Ka’bah, rumah Allah yang termulia, ditempat yang paling mulia yaitu Makkah. Keduanya berdoa:

رَبَّنا تَقَبَّلْ مِنَّا

Wahai Allah terimalah dari kami.” (Al-Baqarah: 127)

Berbeda dengan seorang yang jelek, mereka menggabungkan antara jeleknya perbuatan dan sikap merasa aman dari adzab Allah.

Inilah shahabat Abdullah bin umar radhiyallahu’anhuma, ketika Abu Hurairah radhiyallahu’anhu memberitahukannya tentang hadits Nabi shallallahu’alaihi wasallam bahwa orang yang menshalati janazah akan mendapatkan pahala satu qirath, dan barang siapa yang mengantarkannya sampai kubur dia mendapatkan pahala dua qirath. Abdullah bin Umar belum pernah mendengar hadits itu, lalu ia mengutus seseorang untuk bertanya kepada ‘Aisyah, dan ia menjawab, “Benar apa yang dikatakan Abu Hurairah.” Ketika utusan tadi telah pulang dan mengabarkannya, Abdullah mengatakan dengan ucapan penyesalan, “Sungguh kita telah menyia-nyiakan qirath yang banyak.”[20]

Demikianlah Abdullah bin Umar radhiyallahu’anhuma sangat menyesal karena telah terlewatkan untuk mendapat pahala yang besar. Namun pernahkah kita menyesalai atas terluputnya amalan ketaatan yang terluput pada diri kita? Atau justeru yang kita sesali adalah terluputnya kemewahan dunia.

Dahulu apabila seorang Ahli hadits mendiktekan hadits kepada murid-muridnya dan ia berhenti sejenak untuk memberi kesempatan muridnya dalam rangka menulis hadits, ia memanfaatkan waktu yang sejenak itu untuk beristighfar dan bertasbih.

Dahulu ada yang menyebutkan tentang Al-Imam Abdullah bin Al-Imam Ahmad rahimahullah, “Tidaklah aku melihatnya kecuali ia sedang membaca, tersenyum atau sedang meneliti (suatu permasalahan agama).

Al-Imam Adz-Dzahabi menyebutkan tentang biografi Abdul Wahhab bin Al-Wahhab bin Al-Amin rahimahullah bahwa waktunya sangat terjaga. Tidaklah berlalu suatu saat kecuali dia sedang membaca, berdzikir, tahajjud, atau setor hafalan.[21]

Berlindung Kepada Allah Dari Penyakit Pikun

Semakin berlanjut usia seseorang semakin berkurang kekuatannya dan melemah fisiknya sehingga kembali kepada kondisi yang serupa dengan anak kecil yang lemah tubuhnya, sedikit akalnya, dan kurang pengetahuannya. Oleh karena itu diantara doa Nabi shallallahu’alaihi wasallam,

Wahai Allah aku berlindung kepada-Mu dari kelemahan, kemalasan, pengecut, dan kepikunan.”[22]

Bersiap-siaplah Untuk Menghadapi Akherat

Ketahuilah bahwa setan senantiasa membisikan untuk mengakhirkan taubat hingga akhir umurnya. Sehingga apabila telah mati barulah ia merasa menyesal akibat apa yang telah ia sia-siakan dari umurnya untuk menuruti syahwat dunianya yang semu. Ia berangan-angan agar dikembalikan kedunia agar beramal shaleh namun itu sudah tidak bermanfaat lagi. Allah sudah memperingatkan para hamba untuk bersiap-siap menghadapi akherat. Dan memerintahkan mereka untuk segera bertaubat dari kesalahan-kesalahn dan dosa. Allah berfirman,

وَأَنِيبُوا إِلى رَبِّكُمْ وَأَسْلِمُوا لَهُ مِنْ قَبْلِ أَنْ يَأْتِيَكُمُ الْعَذابُ ثُمَّ لا تُنْصَرُونَ
وَاتَّبِعُوا أَحْسَنَ مَا أُنْزِلَ إِلَيْكُمْ مِنْ رَبِّكُمْ مِنْ قَبْلِ أَنْ يَأْتِيَكُمُ الْعَذابُ بَغْتَةً وَأَنْتُمْ لا تَشْعُرُونَ أَنْ تَقُولَ نَفْسٌ يَا حَسْرَتى عَلى مَا فَرَّطْتُ فِي جَنْبِ اللَّهِ

Dan kembalilah kamu kepada Rabmu, dan berserah dirilah kepada-Nya sebelum datang adzab kepadamu kemudian kamu tidak dapat ditolong (lagi). Dan ikutilah sebaik-baik apa yang diturunkan kepadamu dari Rabmu sebelum datang kepadamu azab dari Rabmu dengan tiba-tiba, sedang kamu tidak menyadarinya, supaya jangan ada orang yang menyatakan, ‘Amat besar penyesalanku atas kelalaianku dalam (menunaikan kewajiban) terhadap Allah’.” (Az-Zumar: 54-56)

Berkata Ali bin Abi Thalib, “Dunia pergi membelakangi, sedangkan akherat telah datang menyambut dan masing-masing dari keduanya memilki anak-anak (pecinta) nya. Maka jadilah kalian termasuk ahli akherat dan janganlah menjadi ahli dunia. Karena hari ini (kehidupan didunia) adalah tempat beramal bukan hisab, dan besok (kiamat) hanya ada hisab bukan amal.”[23]

Nabi shallallahu’alaihi wasallam bersabda,

لاَ يَزَالُ قَلْبُ الكَبِيرِ شَابًّا فِي اثْنَتَيْنِ: فِي حُبِّ الدُّنْيَا وَطُولِ الأَمَلِ

Orang sudah tua akan senantiasa muda pada dua perkara: dalam cinta dunia dan panjangnya angan-angan (umur).”[24]

Oleh karena itu wahai kaum muslimin usia adalah hakekat hidup kita. Makin bertambah usia, makin berkurang umur kita. Mengherankan tingkah sebagian orang yang merayakan ulang tahunnya setiap tahun. Seringkali diiringi dengan hinggar binggar dan hura-hura. Lupa saat ajal tiba, tidak ada lagi “kesempatan kedua” untuk bertaubat dan mengayam kebaikan. Adapun orientasi hidup seorang mukmin adalah beribadah kapada Allah dengan semaksimal mungkin dan munggunakan waktunya untuk meningkatkan amal shalih, yang merupaka jalan menuju sorga.  

Wallahu a’lam Bish Shawwab.

Sumber: http://islamkita.net/?p=89

[1] Taisir Al-‘Aliyyir Qadir: 4/339.

[2] Ma’alim fi Thariq Thalabil ‘Ilmi: hal.32.

[3] HR. Al-Bukhari: 6416.

[4] HR. At-Tirmidzi dari Ibnu Mas’ud radhiyallahu’anhu. Lihat As-Shahihah, no.946.

[5] HR. Bukhari dan At-Tirmidzi. Lihat Shahih At-tirmidzi no.2304.

[6] HR. Al-Hakim dan selainnya.dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani dalam As-Shahihul Jami’ no.1077.

[7] Faidhul Qadhir: 2/21.

[8] HR. Al-Bukhari: no.6419.

[9] Fathul Bari: 11/240.

[10] Hadits ini dihasankan oleh Al-Hafidz Ibnu Hajar didalam Fathul Bari: 11/240.

[11] Disadur secara makna dari perkataan Imam At-thibi didalan kitab Al-Faidhul Qadir: 2/15.

[12] HR. Ahmad, At-Tirmidzi dan Al-Hakim dari Abu Bakrah radhiyallahu’anhu, lihat Shahihul Jami’ no: 3297.

[13] Shahih Sunan Ibnu Majah: no.3185.

[14] Lihat Syarah hadits Allahumma Bi’ilmika al-Ghaib. Karya Ibnu Rajab rahimahullah, hal.25-26.

[15] HR. Al-Bukhari no.5671.

[16] Syarah hadits Allahumma Bi’ilmika al-Ghaib. Karya Ibnu Rajab rahimahullah, hal.32 dan Hilyatul Auliya’: 149-155.

[17] Shahih Al-Adab Al-Mufrad: no.508.

[18] Syarah Shahih Al-Adab Al-mufrad: 2/311

[19] Al-Manahi Al-Lafdziyyah, hal. 89.

[20] Sunan Ath-Tirmidzi: 1040. Cet. Al-Ma’arif.

[21] Ma’alim Fi Thariq Thalabil ‘Ilmi, karya Abdul Azizi As-sadhan. Hal. 33-37. Umur anegerah yang terabaikan tulisan Al-Ustadz Abdul Mu’thi Lc, majalah Asy-Syariah vol.III rubrik Akhlaq.

[22] HR. Al-Bukhari: no.6367.

[23] Shahih Al-Bukhari, Kitab Ar-Riqaq Bab Fil Amal Wa Thulihi.

[24] HR. Al-Bukhari: no. 6420.

Buletin Imam Syafii Edisi 004

Buletin Imam Syafii Edisi 003

JADILAH KUNCI KEBAIKAN

Diposting OlehUnknown Pada Sabtu, 21 Desember 2013 | 5:54 AM

JADILAH KUNCI KEBAIKAN
Anas bin Malik berkata, bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إِنَّ مِنْ النَّاسِ مَفَاتِيحَ لِلْخَيْرِ مَغَالِيقَ لِلشَّرِّ ، وَإِنَّ مِنْ النَّاسِ مَفَاتِيحَ لِلشَّرِّ مَغَالِيقَ لِلْخَيْرِ ، فَطُوبَى لِمَنْ جَعَلَ اللَّهُ مَفَاتِيحَ الْخَيْرِ عَلَى يَدَيْهِ ، وَوَيْلٌ لِمَنْ جَعَلَ اللَّهُ مَفَاتِيحَ الشَّرِّ عَلَى يَدَيْهِ

Sesungguhnya diantara manusia ada yang menjadi kunci kebaikan dan penutup pintu kejelekan, Namun ada juga yang menjadi kunci kejelekan dan penutup pintu kebaikan. Maka beruntunglah bagi orang-orang yang Allah jadikan sebagai kunci kebaikan melalui kedua tangannya. Dan celakalah bagi orang-orang yang Allah jadikan sebagai kunci kejelekan melalui kedua tangannya”. (HR Ibnu Majah, dan dihasankan oleh Syaikh Al-Albani dalam Shahih Sunan Ibnu Majah)

Dan barangsiapa yang ingin dirinya menjadi seseorang yang kunci pembuka pintu kebaikan serta menjadi penutup pintu keburukan, maka hendaknya ia melakukan hal-hal berikut:
  1. Mengikhlaskan segala perbuatan dan perkataan hanya untuk beribadah kepada Allah. Karena hal tersebut adalah sumber kebaikan dan sumber kemuliaan seseorang.
  2. Berdoa kepada Allah agar diberi taufik menjadi seseorang yang membuka pintu kebaikan. Karena sesungguhnya doa adalah kunci segala kebaikan, dan Allah tidak akan menolak doa seorang hamba yang beriman yang memohon kepadanya.
  3. Bersemangat dalam menuntut ilmu dan memperdalamnya. Karena sesungguhnya ilmu mendorong seseorang kepada kebaikan dan kemuliaan, serta menghalangi dari perbuatan jelek dan kerusakan.
  4. Senantiasa beribadah kepada Allah, terlebih-lebih dalam hal-hal yang wajib. Dan lebih khusus dalam masalah shalat, karena shalat dapat mencegah dari perbuatan keji dan munkar.
  5. Bersikap dengan akhlak yang mulia dan lemah lembut, serta jauh dari akhlak yang buruk dan tidak beradab.
  6. Berteman dengan orang-orang yang baik dan berkumpul dengan orang-orang shalih. Karena sesungguhnya dengan berkumpul bersama mereka, para malaikat akan menyelimutinya dan rahmat Allah akan mengelilinginya. Serta jauhilah perkumpulan orang-orang yang buruk dan jelek, karena mereka adalah pengikut para setan.
  7. Menasehati orang lain, baik yang dikenal atau tidak dikenal, agar menyibukkan mereka dengan kebaikan dan menjauhkannya dari kejelekan.
  8. Selalu mengingat akan hari akhir, dimana seorang hamba akan berdiri dihadapan Allah Ta’ala. Maka seseorang yang senantiasa berbuat baik akan dibalas dengan kebaikan dan orang yang jelek dibalas dengan kejelekan pula, sebagaimana firman Allah Ta’ala,

    فَمَنْ يَعْمَلْ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ خَيْرًا يَرَهُ وَمَنْ يَعْمَلْ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ شَرًّا يَرَهُ

    Barangsiapa yang mengerjakan amal perbuatan kebaikan sebesar dzarrah pun, niscaya ia akan mendapatkan balasannya. Dan barangsiapa yang mengerjakan amal kejelekann sekecil dzarrah, pasti ia akan mendapatkan balasannya”. (QS. Al-Zalzalah 7-8)
  9. Dan yang tidak kalah penting adalah seorang hamba senantiasa berharap agar mendapatkan kebaikan, serta berusaha memberi manfaat kepada yang lainnya. Sehingga apabila ia sungguh-sungguh berniat dan berharap akan mendapatkan kebaikan serta memohon kepada Allah akannya, maka dengan izin Allah, ia akan menjadi kunci kebaikan dan penutup pintu kejelekan.

Dan Allah Maha Kuasa atas hamba-hambanya untuk diberikan taufik dan dibukakan padanya pintu kebaikan bagi yang dikehendaki-Nya. Dan Allah-lah sebaik-baik dzat yang membuka pintu kebaikan.

Sumber: http://www.al-badr.net/web/index.php?page=article&action=article&article=7
Penerjemah: Rian Permana
Artikel Muslim.Or.Id

HIKMAH PENCIPTAAN LANGIT DAN BUMI SELAMA 6 HARI

HIKMAH PENCIPTAAN LANGIT DAN BUMI SELAMA 6 HARI
Pertanyaan:

Dikatakan dalam Al Qur’an bahwa Allah Ta’ala menciptakan langit dan bumi selama 6 hari. Tolong jelaskan kepada kami karena setahu kami Allah cukup mengatakan ‘kun‘ (jadilah) maka sesuatu bisa langsung terjadi.

Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah menjelaskan:

Allah Subhanahu Wa Ta’ala menciptakan langit dan bumi serta apa yang ada di antara keduanya dalam 6 hari. Sebagaimana dikabarkan oleh Allah sendiri dan Ia adalah Ash Shadiq. Ia juga Maha Kuasa menciptakan semua itu dalam sekejap mata. Sebagaimana firman-Nya:

إِنَّمَا أَمْرُهُ إِذَا أَرَادَ شَيْئًا أَنْ يَقُولَ لَهُ كُنْ فَيَكُونُ

Sesungguhnya perintah-Nya apabila Dia menghendaki sesuatu hanyalah berkata kepadanya: Jadilah!” maka terjadilah ia” (QS. Yasin: 82)

Namun para ulama menjelaskan bahwa tujuan Allah menciptakan semua itu dalam 6 hari yaitu untuk mengajarkan hamba-Nya sikap tidak tergesa-gesa. Juga untuk mengabarkan bahwa Allah-lah yang mengatur dan segala sesuatu di alam ini dan menghubungkan semuanya. Rabb semesta alam yang Maha Mengetahui segala sesuatu dan Rabb yang Maha Kuasa atas segala sesuatu tidak menjadikan langit dan bumi sekaligus, melainkan dalam 6 hari. Sebagaimana juga Allah menciptakan manusia tidak sebagaimana menciptakan makhluk yang lain. Allah menciptakan manusia dengan susunan dan pengaturan yang paling baik. Semua itu agar hamba-Nya belajar untuk menunggu dan belajar sikap tidak tergesa-gesa, juga untuk mengabarkan kepada mereka bahwa perkara mereka telah diatur sedemikian rupa dengan sempurnanya di atas ilmu yang sempurna tanpa ketergesa-gesaan dan tanpa gangguan.

Allah Subhanahu Wa Ta’ala dengan kekuasaan-Nya terhadap segala sesuatu dan ke-Maha Tahuan-nya terhadap segala sesuatu tidak menciptakan langit dan bumi sekaligus melainkan dalam enam hari, padahal Ia Maha Kuasa untuk menciptakan semua itu dalam sekejap mata karena jika Allah menginginkan sesuatu terjadi maka ia mengatakan ‘kun‘ (jadilah) maka terjadilah. Allah Ta’ala mengatur penciptaan langit dan bumi selama beberapa hari agar hamba-Nya memahami bagaimana seharusnya mereka bersikap, bagaimana seharusnya mereka mengatur urusan mereka, bagaimana mereka bersabar menunggu dalam perkara-perkara mereka tanpa tergesa-gesa hingga maslahah mereka sudah tersusun dengan baik dan hingga perkara mereka telah tepat berada pada jalan yang jelas dan membuat hati tenang. Dengan sikap itu tercapailah maslahah mereka dan terhindarlah mereka dari berbagai bahaya.

Allah Subhanahu Wa Ta’ala mengisyaratkan makna ini dalam firman-Nya:

وَهُوَ الَّذِي خَلَق السَّمَاوَاتِ وَالأَرْضَ فِي سِتَّةِ أَيَّامٍ وَكَانَ عَرْشُهُ عَلَى الْمَاء لِيَبْلُوَكُمْ أَيُّكُمْ أَحْسَنُ عَمَلاً

Dan Dia-lah yang menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, dan adalah Arasy-Nya di atas air, agar Dia menguji siapakah di antara kamu yang lebih baik amalnya” (QS. Huud: 7)

Allah Ta’ala mengabarkan bahwa Ia menciptakan langit dan bumi dengan cara demikian untuk menguji dan menyeleksi siapakah yang paling baik dan paling sempurna amalnya. Maka tergesa-gesa lah orang yang tidak mengatur urusannya, sehingga ia pun kurang sempurna dalam beramal. Allah Ta’ala menciptakan langit dan bumi dalam enam hari untuk menguji hamba-Nya untuk berusaha sempurna dalam beramal, dan berusaha sebaik mungkin dalam beramal serta tidak tergesa-gesa dalam melakukannya sehingga tidak ada cacat dalam urusan-urusan mereka. Dan Allah menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, ketika itu Arsy-Nya ada di atas air, tujuannya untuk menguji siapakah di antara kalian yang lebih baik amalnya. Allah juga berfirman:

إِنَّا جَعَلْنَا مَا عَلَى الْأَرْضِ زِينَةً لَّهَا لِنَبْلُوَهُمْ أَيُّهُمْ أَحْسَنُ عَمَلً

Sesungguhnya Kami telah menjadikan apa yang ada di bumi sebagai perhiasan baginya, agar Kami menguji mereka siapakah di antara mereka yang terbaik perbuatannya” (QS. Al Kahfi: 7)

Allah juga menciptakan segala apa yang ada di bumi berupa pohon-pohon, tumbuhan, hewan, logan-logam dan benda-benda lainnya untuk menguji dan menyeleksi hamba-Nya, siapakah yang paling sempurna amalnya dalam mengeksplorasi apa yang ada di dalam bumi, mengambil manfaat serta menggunakannya. Allah Subhanahu Wa Ta’ala juga berfirman:

الَّذِي خَلَقَ الْمَوْتَ وَالْحَيَاةَ لِيَبْلُوَكُمْ أَيُّكُمْ أَحْسَنُ عَمَلً

Yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya” (QS. Al Mulk: 2)

Dalam ayat-ayat ini serta makna yang terkandung di dalamnya menunjukkan bahwa Allah Subhanahu Wa Ta’ala menciptakan segala sesuatu dengan pengaturan yang sedemikian rupa dan juga rentang waktu yang tertentu untuk menguji hamba-Nya dan menyeleksi siapa yang bisa beramal dengan sempurna. Allah tidak berkata كثر عملاً (siapa yang paling banyak amalnya) namun berkata أَحْسَنُ عَمَلً (yang paling baik amalnya). Maka yang dianggap adalah yang paling profesional, sempurna, dan baik, bukan jumlahnya.

Sumber: http://www.binbaz.org.sa/mat/4109
Penerjemah: Yulian Purnama
Artikel Muslim.Or.Id

14 Isim Dhamir (Kata Ganti)

Diposting OlehUnknown Pada Selasa, 03 Desember 2013 | 6:53 PM

14 Isim Dhamir (Kata Ganti)

Bismillahirrahmanirrahim...

اسم الضمير

Isim dhamir adalah kata ganti. Kita mengenal dalam bahasa indonesia ada kata ganti orang pertama (aku, kami), kata ganti orang kedua (kamu, kalian) dan kata ganti orang ketiga (dia, mereka). Dalam bahasa arab, kata ganti akan lebih kompleks, karena akan ada istilah kata ganti untuk laki-laki, kata ganti untuk perempuan, kata ganti tunggal, jamak dan dua orang. Untuk lebih jelasnya, mari kita bahas satu persatu...

kata ganti orang ketiga laki-laki

هُوَ dia

هُمَا mereka berdua

هُمْ mereka


kata ganti orang ketiga perempuan

هِيَ dia

هُمَا mereka berdua

هُنَّ mereka


kata ganti orang kedua laki-laki

اَنْتَ kamu

اَنْتُمَا kamu berdua

اَنْتُمْ kalian


kata ganti orang kedua perempuan

اَنْتِ kamu

اَنْتُمَا kalian berdua

اَنْتُنَّ kalian


kata ganti orang pertama

اَنَا saya

نَحْنُ kami


jika kita perhatikan, maka ada perbedaan yang jelas antara bahasa kita, dengan bahasa arab. Karena dari data diatas jelaslah bahwa bahasa arab memiliki kata ganti dua orang baik untuk kata ganti orang kedua dan ketiga baik untuk laki-laki atau perempuan. Untuk humaa dan antumaa sama saja ketika untuk laki-laki atau perempuan yang membedakan hanyalah pemakaiannya saja.

Penting:

sebagai tambahan, nahnu selain untuk kata ganti orang pertama jamak bisa juga digunakan sebagai pengagungan atas diri. Contohnya pada ayat :

انا نحن نزلنا الذكرى وانا له لحافظون

Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Adz-Dzikr (Al-Qur'an), dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya. (QS. Al Hijr [15]:9)

dalam ayat tersebut, dengan menggunakan kata kami, bukan berarti bahwa Allah itu banyak, tidak satu. Akan tetapi nahnu disini sebagai pengagungan Alah atas diri-Nya. Jadi sekali lagi makna ayat ini tidak sekali-kali menyatakan bahwa Allah itu banyak.

wallahu a'lam

setidaknya, kita mesti hafal semua kata dhamir... hafalin yak! jaahid! (berjuanglah!). semoga Allah memberi kita kemudahan dalam menuntut ilmu.. amien..

 Sumber: http://www.arabic.web.id/2008/08/isim-dhamir-kata-ganti.html

Sejarah Munculnya Ilmu Nahwu (Tata Bahasa Arab)

Banyak hal yang menyebabkan ilmu nahwu disusun. Secara umum sebab nya adalah seputar kekeliruan orang-orang arab pada bahasa mereka yang disebabkan bercampurnya mereka dengan orang-orang ‘ajam (non arab) yang masuk islam sehingga mempengaruhi tata bahasa mereka. Diantara penyebab utama disusunnya ilmu nahwu adalah:
  • Pada masa Rasulullah diriwayatkan bahwa ada seseorang yang keliru bahasanya, maka Rasulullah bersabda: “ Bimbinglah saudara kalian ini.. Sesungguhnya dia tersesat"
  • Berkata Abu Bakar Ash Shidiq: “Aku lebih menyukai jika aku membaca dan aku terjatuh daripada aku membaca dan aku keliru”
  • Pada masa Umar bin Khattab, bahasa yang keliru di kalangan orang arab semakin menjamur. Hal ini disebabkan karena perluasan daerah kekuasaan Islam sehingga banyak orang-orang ‘ajam yang masuk islam. Diantara kesalahan-kesalahan yang terjadi:

1. Umar melewati suatu kaum yang buruk lemparan (tombak) nya maka beliau mencela mereka. Mereka pun menjawab:

إِِنَّا قَوْمٌ مُتَعَلِّمِيْنَ

(Makna yang mereka inginkan adalah: “sesungguhnya kami adalah kaum terpelajar”. Akan tetapi mereka keliru karena yang benar إِنَّا قَوْمٌ مُتَعَلِّمُوْنَ dengan merofa’kan kata “مُتَعَلِّمِيْنَ”)

Umar berpaling dari mereka karena marah dan berkata:"Demi Allah kesalahan kalian pada lisan kalian lebih berat menurutku daripada kesalahan kalian pada lemparan (tombak) kalian".

2. Abu musa Al Asyari mengirimkan surat kepada amirul mukminin Umar bin Khathab yang tertulis di situ kalimat

مِنْ اَبُوْ مُوْسَى إِلَى أَمِيْرِ المُؤْمِنِيَْنَ عُمَرٍ بْنِ الخَطَّابِ

(Dari abu musa kepada Amirul mukminin Umar bin Khathab. Namun secara kaidah bahasa, kalimat yang tepat مِن اَبِيْ مُوْسَى dengan menjarkan kata “اَبُوْ”)

Umar membalas surat tersebut dengan: "Sebaiknya kau cambuk Juru tulis mu (karena keliru)". Juru tulisnya adalah Abul Hushain Al Anbary.

3. Seorang laki-laki dari gurun (badui) masuk Islam dan meminta diajarkan sesuatu dari Al Quran. Kemudian seorang kaum muslimin membacakan awal surat At Taubah:



"Dan (inilah) suatu permakluman daripada Allah dan Rasul-Nya kepada umat manusia pada hari haji akbar bahwa sesungguhnya Allah dan RasulNya berlepas diri dari orang-orang musyrikin. Kemudian jika kamu (kaum musyrikin) bertobat, maka bertaubat itu lebih baik bagimu ; dan jika kamu berpaling, maka ketahuilah bahwa sesungguhnya kamu tidak dapat melemahkan Allah. Dan beritakanlah kepada orang-orang kafir (bahwa mereka akan mendapat) siksa yang pedih."( At Taubah : 3)

Akan tetapi orang tersebut membacanya sebagai berikut:

أَنَّ اللّهَ بَرِيءٌ مِنَ المُشْرِكِيْنَ وَرَسُوْلِهِ

Yaitu dengan mengkasrahkan kata رَسُوْلُ"” sehingga artinya berubah menjadi “bahwa sesungguhnya Allah berlepas diri dari orang-orang musyrikin dan RasulNya.

Berkatalah orang badui tersebut: “Apakah benar bahwa Allah berlepas diri dari Rasul Nya? Demi Allah aku akan berlepas diri dari orang yang Allah berlepas diri darinya.” Ketika Umar mengetahui hal tersebut, ia mengutus seseorang ke orang tersebut dan membenarkan bacaannya dan Ia berseru kepada manusia:"Hendaknya seseorang tidak membaca Al Quran kecuali ia mengetahui bahasa Arab".

Ini adalah beberapa contoh kekeliruan-kekeliruan yang terjadi pada orang-orang arab disebabkan bercampurnya mereka dengan orang-orang non-Arab. Kekeliruan ini tidak bisa dibiarkan karena dapat merusak pemahaman kaum muslimin terhadap Al Quran sebagaimana contoh yang disebutkan di atas. Oleh karena itu, ilmu nahwu disusun agar memudahkan seseorang dalam mempelajari kaidah-kaidah bahasa Arab sehingga tidak keliru dalam memahami kalimat bahasa Arab.

Pencetus Ilmu Nahwu

Ada perbedaan pendapat di kalangan ulama nahwu tentang siapa pencetus ilmu nahwu. Diantara mereka ada yang berpendapat bahwa pencetus ilmu nahwu adalah:

  1. Amirul mu'minin Ali bin Abi Thalib
  2. Abul Aswad Ad Du'aly atas perintah dari Khalifah Umar bin Khathab
  3. Abul Aswad Ad Du'aly atas perintah Khalifah Ali bin Abi Thalib atau atas perintah Ziyad, pemimpin Bashrah atau Abul Aswad sendiri yang mencetuskan nya yang dipicu oleh percakapan antara beliau dan anak perempuan nya. Berkata anaknya: "wahai ayahku.. مَا أَحْسَنُ السَّمَاءِ (Apa yang paling indah dari langit?)" - dengan merofa'kan (membaca dhammah) kata " أَحْسَنُ " dan menjarkan (membaca kasrah) kata "السَّمَاءِ" . Beliau pun menjawab:"Bintang-bintangnya". Anaknya pun berkata:"Aku bukannya bertanya wahai ayah.. tetapi aku sedang merasa takjub..". Belaiu pun menjawab:"Kalau begitu seharusnya yang kamu ucapkan adalah.. مَا أَحْسَنَ السَّمَاءَ (betapa langit yang indah!)" – dengan membaca fathah kata "أَحْسَنَ " dan "السَّمَاءَ ".
  4. Abdurrahman bin Humuz Al A'raj
  5. Nashr bin 'Ashim Al Laitsy

Pendapat yang paling kuat dari pendapat-pendapat di atas adalah pendapat yang menyebutkan bahwa pencetusnya adalah Abul Aswad Ad Du'aly atas perintah dari Khalifah Ali Bin Abi Thalib ketika terjadi banyak kekeliruan orang arab terhadap bahasa nya sendiri khususnya kekeliruan mereka dalam membaca Al Quran dan Hadits.

Begitulah sejarah lahirnya ilmu nahwu dimana bisa kita baca dengan jelas bahwa tujuan utamanya adalah agar kaum muslimin dapat membaca Al Quran dan Hadits dengan benar sehingga bisa memahami maksud yang terkandung di dalamnya. Allah Subhanahu wata'ala berfirman:

""Sesungguhnya Kami menurunkannya berupa Al Quran dengan berbahasa Arab, agar kamu memahaminya." (Yusuf : 2)

Imam Syafi’i rahimahullah berkata, “Manusia tidaklah menjadi bodoh dan berselisih kecuali ketika meninggalkan bahasa Arab dan cenderung kepada bahasa Aristoteles (bahasa orang barat).” [Siyaru A’lamin Nubala, 10/74]

Benarlah perkataan penyair yang berkata:

النَّحْوُ أَوْلَى أَوَّلاً أَنْ يُعْلَمَ.. إِذْ الكَلاَمُ دُوْنَةُ لَنْ يُفْهَمَ..

(Ilmu nahwu adalah hal pertama yang paling utama untuk dipelajari.. karena perkataan tanpanya, tak dapat dipahami..)

* Disarikan dari Diktat Kuliah Ilmu Nahwu, Universitas Al Madinah Internasional (MEDIU)

Oleh: Khairul Umam Al Batawy
Sumber:  http://www.arabic.web.id/2010/03/sejarah-muncul-nya-ilmu-nahwu-tata.html

DAUROH KITAB LSIBA IMAM SYAFI'I PAYAKUMBUH


INSYA ALLAH TA’ALA
DAUROH
SYAR’IYYAH

MEMBAHAS KITAB
NAWAQIDUL ISLAM
MASAIL JAHILIYYAH
Karya Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab

Pemateri :
Ustadz Abu Qudamah
(Alumnus Akademi As-Sunnah Medan,
Mudir LSIBA Imam Syafi’i Payakumbuh)

Ustadz Rahmat Hidayat, Lc
(Alumnus Universitas Islam Madinah,
Pengajar di SMPIT Al-Bayyinah Pekan Baru)

Sabtu-Ahad  / 7-8 Desember 2013
(Sabtu : Ba’da Ashar s/d Jam 22.00 WIB,
Ahad : Ba’da Shubuh s/d Zhuhur)

Masjid Al-Furqon
Ma’had Islamy Payakumbuh
Pendaftaran & Konfirmasi : Nur Ikhwan, S.Ag
Hp : 0813 633 94 633

Buletin Imam Syafi'i Edisi 2 "Inilah Bahasa Arab"

Diposting OlehUnknown Pada Senin, 02 Desember 2013 | 11:42 AM

 

Semangat manusia mempelajari “bahasa ibu” suatu bangsa menunjukkan seberapa besar perhatian mereka terhadap bahasa tersebut. Banyaknya jasa kursus bahasa Inggris menunjukkan bahwa banyak orang yang berminat untuk memperdalam bahasa Inggris. Bahasa Inggris telah menjadi “bahasa dunia”, yang seperti menjadi satu “kartu bebas kunjung internasional”. Cobalah kita saksikan, dengan bekal bahasa Inggris seseorang bisa berkunjung ke negara manapun dengan menggunakannya sebagai bahasa komunikasi di sana.

Beberapa tahun belakangan ini, mulai lagi muncul tren bahasa Mandarin. Banyak orang yang berbondong-bondong mengikuti kursus bahasa Mandarin. Ada yang mengatakan bahwa bahasa Mandarin adalah bekal kedua–setelah bahasa Inggris–untuk memasuki era globalisasi. Apalagi sepak terjang Cina dalam perdagangan internasional semakin meluas.
Orangtua tak ingin kalah untuk memasukkan anak-anaknya ke berbagai tempat kursus kedua bahasa tersebut. Orang kantoran dan mahasiswa pun tak ingin ketinggalan roda modernisasi. Intinya, banyak orang tak ingin ketinggalan zaman gara-gara tidak menguasai bahasa Inggris ataupun bahasa Cina. Seperti itu pulakah kita kaum muslimah? Lalu, dimanakah kedudukan bahasa Arab di hati kita?

Bahasa Arab, Bahasa Kebanggaan Kaum Muslimin

Jika sesuatu itu memiliki keutamaan, bukankah dia pantas untuk diperebutkan? Tentu saja! Nah, demikianlah bahasa Arab. Sebuah bahasa yang telah Allah jadikan sebagai bahasa al-Quran, kitab yang paling agung dan senantiasa dijaga oleh-Nya 'Azza wa Jalla sampai kiamat. Dengan demikian, bahasa manakah yang lebih mulia dan lebih utama daripadanya?

Jika seseorang mampu berpayah-payah dalam mempelajari bahasa Inggris, Mandarin, Jerman, atau yang lainnya demi dunia, maka marilah kita bersikap yang jauh lebih baik daripada itu terhadap bahasa Arab. Jika seseorang rela mengeluarkan banyak uang agar sampai ke level bahasa asing yang paling mahir, maka marilah kita bersikap yang jauh lebih baik daripada itu terhadap bahasa Arab.

Bukan Berarti Kita Tidak Boleh Belajar Bahasa Asing Selain Bahasa Arab

Untuk menghindari kerancuan pemahaman dalam permasalahan ini, marilah kita simak penjelasan seorang ulama besar kaum muslimin abad ini, Syekh Muhammad bin Shalih Al-'Utsaimin rahimahullah.

Pertanyaan:

Syekh 'Utsaimin rahimahullah ditanya : Apakah pendapat Anda jika seorang penuntut ilmu mempelajari bahasa Inggris, terlebih lagi jika dia mempelajarinya untuk berdakwah di jalan Allah?

Jawab

Syekh 'Utsaimin menjawab : Menurut saya, tidak diragukan lagi bahwa mempelajari bahasa Inggris merupakan salah satu sarana, dan sarana tersebut akan menjadi sarana yang baik jika memiliki tujuan yang baik, dan akan menjadi sarana yang membinasakan jika tujuannya buruk. Akan tetapi, yang perlu dihindari adalah menjadikan bahasa Inggris sebagai pengganti bahasa Arab, karena sesungguhnya menggantikan kedudukan bahasa Arab yang merupakan bahasa al-Quran dan juga bahasa yang paling mulia dengan bahasa Inggris adalah sebuah keharaman. Telah diriwayatkan dari salah seorang salaf (yaitu 'Umar bin Khaththab radhiyallahu 'anhu -ed) tentang larangan bercakap-cakap menggunakan bahasa orang kafir. Adapun jika digunakan sebagai sarana dakwah, maka tidak diragukan lagi bahwa terkadang hal tersebut menjadi wajib. Saya pun terkadang berangan-angan seandainya saya mempelajari bahasa Inggris dan pada sebagian waktu aku sangat butuh untuk menggunakan bahasa Inggris, sampai-sampai penerjemah tidak dapat mengungkapkan maksud hati saya secara sempurna. (Kitabul 'Ilmi, hlm.116)

Anda Semakin Tertarik Belajar Bahasa Arab ?

Jika Anda benar-benar tertarik belajar bahasa Arab, kami sarankan agar Anda menentukan sasaran yang ingin Anda tuju. Bisa jadi sasaran tersebut Anda tentukan berdasarkan kebutuhan atau berdasarkan minat. Selanjutnya, fokuslah pada salah satu atau beberapa sub-pelajaran yang dapat memenuhi sasaran tersebut. Untuk permulaan belajar, berikut ini adalah beberapa bidang pelajaran dalam bahasa Arab yang dapat Anda pilih:

1. Nahwu dan sharaf

Nahwu dan sharaf adalah dua di antara beberapa sub-pelajaran dalam bahasa Arab. Nahwu dan sharaf merupakan pelajaran tentang tata bahasa. Atas pertolongan Allah kemudian dengan bekal keduanya, insya Allah seseorang dapat lebih memahami kandungan Al-Quran dan hadits-hadits Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam. Selain itu, kemahiran membaca kitab bahasa Arab yang tanpa harakat (lebih terkenal dengan istilah “kitab gundul”) dapat diperoleh. Karya tulis para ulama yang sarat dengan ilmu sebagian besar ditulis dalam bahasa Arab. Sungguh sayang jika kita tak mampu menggali manfaatnya. Nahwu dan sharaf adalah jembatan menuju ke sana.

Nahwu adalah ilmu yang mempelajari perubahan keadaan akhir suatu kata, contoh:
Dalam suatu teks, susunan huruf محمد memiliki tiga kemungkinan cara baca, yaitu مُحَمَّدٌ (Muhammadun), مُحَمَّدٍ (Muhammadin), atau مُحَمَّدًا (Muhammadan). Jika kita membaca “Muhammadun”, maka fungsi kata tersebut dalam suatu kalimat akan berbeda dengan jika kita membacanya “Muhammadan” atau “Muhammadin”. Perubahan keadaan akhir (harakat atau huruf) suatu kata akan menyebabkan fungsinya dalam kalimat menjadi berbeda, yaitu apakah dia akan menjadi subjek, objek, kata keterangan, atau yang lainnya.

Kata مُسْلِمُوْنَ (muslimun) dan kata مُسْلِمِيْنَ (muslimin) memiliki arti yang sama, namun fungsi yang berbeda dalam suatu kalimat. “Muslimun” dapat berfungsi sebagai subjek, namun tidak dapat berfungsi sebagai objek. Adapun kata “muslimin” dapat berfungsi sebagai objek, tetapi tidak dapat berfungsi sebagai subjek.

Adapun sharaf, dia adalah ilmu yang mempelajari pembentukan kata dan perubahannya karena penambahan atau pengurangan. Contoh: dari kata كَتَبَ (artinya: dia (seorang laki-laki) telah menulis) dapat kita peroleh kata كِتَابٌ (artinya: buku).

2. Muhaddatsah/Hiwar (Percakapan)

Sasaran muhaddatsah/hiwar adalah untuk meraih kemampuan menggunakan bahasa Arab secara aktif. Pelajaran ini insya Allah bermanfaat untuk orang-orang yang membutuhkan percakapan sehari-hari dalam bahasa Arab, misalnya orang non-Arab yang akan bermukim di wilayah yang penduduknya berbahasa Arab. Dapat pula bermanfaat bagi orang-orang yang ingin menambah kosakatanya dalam bahasa Arab agar mempermudah pada saat menelaah kitab berbahasa Arab (sehingga tidak perlu sering membuka kamus).

3. Khath

Sebagaimana dalam bahasa-bahasa lain, dalam bahasa Arab pun terdapat berbagai bentuk keterampilan, yaitu membaca, berbicara, menulis, dan mendengarkan. Khath adalah bidang ilmu yang mengajarkan tata cara menulis aksara-aksara arab (lebih kita kenal dengan istilah “huruf hijaiyyah”), baik pada saat aksara tersebut berdiri sendiri maupun pada saat bersambung dengan aksara lain.

Tetap Ingat yang Satu Ini

Bahasa Arab adalah ilmu yang menjadi sarana untuk memahami cabang-cabang ilmu syariat yang lain. Karena itulah, kita sepatutnya bersungguh-sungguh mengejar ilmu bahasa Arab di jalan mana pun yang mesi ita susuri. Namun, tetaplah ingat bahwa ilmu adalah makanan (bagi jiwa), maka perhatikanlah dari siapa ilmu bahasa Arab kita peroleh. Pilihlah guru yang lurus akidahnya dan bersih pemahamannya tentang Islam. Sungguh banyak orang yang pandai berbahasa Arab, tetapi kepandaiannya itu justru menyesatkannya semakin jauh dari jalan kebenaran, karena ilmu tersebut diperolehnya dari orang-orang yang kelam pandangannya dan sungguh buruk pemahamannya tentang Islam.
Demikianlah sedikit ilmu yang dapat kita nikmati bersama kali ini. Semoga bermanfaat dan beralir berkah dari Allah Subhanahu wa Ta'ala bagi kita semua.

Saudara-audariku, Belajar bahasa Arab sungguh menyenangkan dan bermanfaat. Selamat mencoba.

Ditulis oleh: Ummul Hasan.
Pemuraja'ah: Ustadz Abu Salman.
Sumber : www.muslimah.or.id


Iklan Anda

Iklan Anda
 
Support: Badar Online | Hidayah 103.4 FM
Copyright © 2013. LSIBA IMAM SYAFI'I - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger